• slide 1

    Save Banjarmasin

    Sekilas Tentang Banjarmasin

  • slide 2

    Featured 2

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide 3

    Featured 3

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide 4

    Featured 4

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide 5

    Featured 5

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide 6

    Featured 6

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide nav 1

    Save Banjarmasin

    Sekilas Tentang Banjarmasin
  • slide nav 2

    Featured 2

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...
  • slide nav 3

    Featured 3

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...
  • slide nav 4

    Featured 4

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...
  • slide nav 5

    Featured 5

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...
  • slide nav 6

    Featured 6

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...

Welcome to Fresh Revolution

Delete this element to display blogger navbar

BENTUK KERATON DAN LOKASI PERPINDAHAN PUSAT KESULTANAN BANJAR

Diposting oleh Muhammad Fakhrial di Kamis, November 04, 2010
ABSTRACT
Sultanate of Banjar is the largest kingdom in the southern part of Borneo that did not have the legacy of palaces, which have never known how the shape and location of the palace where the Banjar it. Even so, a description of court forms and the locations of the imperial center Banjar displacement can be traced from several sources including the palace of paintings and books written by Dutch people who witnessed the immediate circumstances of Banjar palace.
Keywords: palace form, palace location Banjar.

I. PENDAHULUAN
Keraton yang dimaksud di sini menunjuk pada kekuasaan raja-raja, khususnya di tanah Jawa. Istilah lain dari keraton adalah istana sebagai tempat kediaman raja beserta keluarga, pembantu dekat, dan para pengawalnya. Berdasarkan pemahaman kebahasaan, kata keraton/karaton (ke-ra-tu-an) diartikan untuk menunjukkan tempat kediaman ratu atau raja, atau kedaton (ke-datu-an) yaitu berarti istana/kerajaan. Makna ini serupa dengan definisi keraton menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), yaitu berarti tempat kediaman ratu atau raja; istana raja; kerajaan.

Gambar 1. Keraton (Dalem) Martapura menurut Schwaner
yang melakukan perjalanan antara tahun 1843-1847. Lukisan itu juga terdapat dalam C.W. Mieling yang disebutnya sebagai Istana Sultan Banjarmasin atau yang disebut J.J. Ras sebagai The last kraton the Bandjarese kings.

Kesultanan atau Kerajaan Banjar sebagai kerajaan terbesar yang pernah ada di bagian selatan Borneo memang pernah memiliki keraton sebagai tempat raja atau sultan menjalankan pemerintahan. Pada awalnya lokasi keratonnya berada di Banjarmasin. Atau yang dahulunya dikenal dengan nama Banjar Masih dengan pelabuhan perdagangannya yang disebut orang Ngaju sebagai Bandar Masih (bandarnya orang Melayu) sebagai ibukota Kerajaan Banjar yang kemudian menjadi kota Banjarmasin.
Keberadaan Keraton Banjar sesungguhnya dapat ditelusuri dari keberadaan Kerajaan Tanjung Pura sebagai kerajaan pertama di Kalimantan Selatan pada abad ke-4 Masehi. J.J. Rass dalam Hikajat Bandjar: A Study In Malay Historiography memperkirakan bahwa Tanjung Pura yang berada di sekitar Tanjung adalah koloni orang Melayu dari zaman awal Sriwijaya. Ketika kerajaan Tanjung Pura diserang oleh imigran-imigran pelarian dari Jawa, maka pusat perdagangan beralih ke Amuntai (Negara Dipa).
Dalam Hikayat Banjar (Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1999/2000) disebutkan bahwa proses pembentukan Kerajaan Banjar itu bermula dari datangnya saudagar Ampu Jatmika di pulau Hujung Tanah, mereka kemudian mendirikan kerajaan Negara Dipa yang juga menurunkan raja-raja Negara Daha dan Kesultanan Banjarmasin yang terbentuk di kemudian hari.
Karena adanya konflik dengan Belanda, maka pusat pemerintahan Kesultanan Banjar juga beberapa kali mengalami perpindahan. Menurut Ramli Nawawi, dkk (1985) setelah keraton Banjar yang pertama di Banjarmasin dibakar VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1612, maka selanjutnya pusat pemerintahan berpindah-pindah dari Kuin di Banjarmasin (Abad XV-XVI), ke Muara Tambangan, seterusnya Batangbanyu, Karang Intan, Martapura, dan kembali ke Banjarmasin.
Adanya Keraton Banjar sudah barang tentu berkaitan dengan Kerajaan Banjar dan etnis pendukungnya yakni etnis Banjar. Akan tetapi, seperti halnya rekonstruksi kesejarahan masa awal berdirinya Kerajaan Banjar dan asal-usul etnis Banjar yang lebih banyak berupa asumsi-asumsi yang didasarkan kepada data-data yang masih terbatas, maka pelacakan bentuk dan lokasi-lokasi perpindahan keraton Banjar yang dilakukan sejauh ini juga lebih didasarkan kepada data yang terbatas pula. Hal itu disebabkan, karea sejak berdirinya Kesultanan Banjar tahun 1526 sampai dihapuskannya kesultanan ini oleh Belanda tahun 1860, kerajaan ini hanya sedikit memiliki peninggalan fisik. Bahkan keraton Banjar juga sudah punah sehingga tidak pernah diketahui bagaimana bentuk dan lokasi-lokasi perpindahan keraton Banjar itu. Meski demikian, gambaran tentang bentuk keraton dan lokasi-lokasi perpindahan pusat kesultanan Banjar sesungguhnya dapat ditelusuri dari lukisan keraton dan catatan orang-orang Belanda yang melihat langsung kondisi keraton Banjar pada saat itu.

II. LOKASI DAN KERATON BANJAR
A. Berdirinya Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar adalah nama lain dari sebutan Kerajaan Banjarmasin atau Kesultanan Banjar.
Kerajaan Banjar menurut M. Idwar Saleh (1981/1982) berdiri pada tanggal 24 September 1526 sebagai sebuah kerajaan Islam. Pengaruh kerajaan ini meliputi gabungan seluruh wilayah yang saat ini dikenal sebagai Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan sebagian Kalimantan Timur bahkan ada beberapa daerah yang pada saat ini masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Ideham, dkk. editor, 2003).
Menurut M. Idwar Saleh (1981/1982) keraton Kesultanan Banjar yang pertama dibangun di Kuin Banjarmasin. Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuwin sebagai induk daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, kemudian berubah menjadi sebuah bandar perdagangan. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih yang dijadikan keraton itu diperluas dengan dibuat Pagungan (gedung gamelan/senjata), Sitiluhur (Siti Hinggil) dan Paseban.
Pada tahun 1612 dalam masa pemerintahan Panembahan Marhum (Sultan Mustain Billah) terjadi pertikaian dengan Belanda yang mengakibatkan hancurnya keraton Banjar di Kuin oleh serangan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selanjutnya ibukota kerajaan dipindah ke daerah Kayutangi, Martapura. Menurut H. Gusti Mayur (1979) pemindahan ibukota Kerajaan Banjar ke Kayutangi atau Bumi Selamat, daerah Martapura kira-kira tahun 1623. Majunya perdagangan Banjar setelah masa Sultan Mustain Billah membawa kemakmuran dengan kemegahan istana serta perangkat-perangkatnya.
Dan pada pertengahan abad ke-17 akibat perebutan kekuasaan, ibukota kerajaan terbagi dua, di Banjarmasin di bawah Sultan Agung (Amirullah Bagus Kesuma) dan di Martapura di bawah Panembahan Ratu. Di daerah Martapura ini, keraton Banjar beberapa kali berpindah tempat, salah satunya Keraton Bumi Kencana (Boemikintjano) yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Bumi Selamat pada tahun 1801. Bumi Selamat adalah untuk keraton Sultan Banjar di Martapura. Nama Keraton Bumi Selamat baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya disebut Keraton Bumi Kencana. Tentang nama Keraton Bumi Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda, 11 Agustus 1806 (lihat ANRI, 1965).

B. Bentuk Keraton dan Perpindahan Pusat Kesultanan Banjar
Bagaimana wujud arsitektural Keraton Banjar saat berdiri di Kuin? Jika menilik bahwa tata pemerintahan Kerajaan Banjar sangat dipengaruhi oleh tata pemerintahan kerajaan sebelumnya (Negara Daha dan Negara Dipa) yang juga dipengaruhi tata pemerintahan di Kerajaan Majapahit, maka dengan melihat tata pemerintahan Kerajaan Negara Daha, dapat diperkirakan bentuk tata Keraton Banjar di Kuin berdasar struktur pemerintahan.
Ketika Kerajaan Banjar sebagai kerajaan Islam berdiri tahun 1526, maka sistem pemerintahannya secara ideologis berubah, dan secara struktural juga mengalami penambahan. Misalnya sebutan raja pada Negara Dipa dan Negara Daha adalah maharaja, maka pada masa Kerajaan Banjar adalah sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah, jabatan tertinggi adalah Mangkubumi yang dijabat oleh Patih Masih, Panganan dijabat oleh Patih Balitung, Pangiwa dijabat oleh Patih Balit, Gumpiran atau Gampiran oleh Patih Kuin, dan Panumping dijabat oleh Patih Muhur.
Keberadaan Kerajaan Banjar pada saat berada di Kuin digambarkan berada di sekitar 5 sungai, yaitu; sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan Pandai. Kelima sungai ini bertemu dan membuat danau kecil bersimpang lima, dan daerah inilah yang nanti menjadi ibu kota Kerajaan Banjar (Saleh, 1981/1982).
Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk Daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526 ke Kuin. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan, Sitiluhur dan Paseban (Saleh, 1981/1982).
Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton. Istana Sultan Suriansyah berupa rumah bubungan tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk betang dengan bahan utama dari pohon ilayung. Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan di pinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban. Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur. Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja. Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah. Dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas air tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air. Menyeberang sungai Sigaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap hari Senin atau Senenan. Di Sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap. Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di lanting-lanting, dan sebagian lagi tinggal di betang di darat. Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah. (Saleh, 1981/1982).
Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah lanting atau rumah rakit hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu atau pelupuh dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi (Saleh, 1981/1982)..
Jabatan pemerintahan Kerajaan Banjar terus mengalami perkembangan. Pada masa pemerintahan Marhum Panambahan Kacil (1595-1620) jabatan-jabatan yang dalam negara adalah: Mangkubumi, Mantri Pangiwa-Panganan, Mantri Jaksa, Tuan Panghulu, Tuan Khalifah, Khatib, Para Dipati, Para Pryai. Masalah-masalah yang menyangkut bidang agama Islam dibicarakan dalam suatu rapat/musyawarah yang terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu yang memimpin pembicaraan adalah Penghulu. Masalah-masalah yang menyangkut hukum sekuler yang disebut hukum dirgama, dibicarakan oleh rapat yang terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa. Yang memimpin adalah Jaksa. Masalah yang menyangkut tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan raja, Mangkubumi dan Dipati.
Jabatan Panghulu mempunyai status yang tinggi dalam negara. Dalam hierarki struktur negara, kedudukan Panghulu adalah dibawah Mangkubumi, dan jabatan Jaksa adalah di bawah Panghulu. Hal ini berlaku pula dalam tata aturan negara dalam suatu sidang negara. Urutannya adalah Raja, Mangkubumi, kemudian Panghulu dan setelah Panghulu adalah Jaksa. Hal ini berlaku pula kalau Raja berjalan. Dalam suatu urutan kalau Raja berjalan, setelah raja adalah Mangkubumi, dibelakang Mangkubumi adalah Panghulu dan kemudian Jaksa.
Kewenangan Panghulu adalah lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah yang menyangkut agama, sedangkan Jaksa mengurusi masalah yang menyangkut dunia. Para Dipati, yang biasanya terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi. Sistem politik dan pemerintahan seperti ini berlangsung sejak pemerintahan pertama dari kerajaan Banjar sampai masa Sultan Musta’in Billah pada permulaan abad ke- 17.
Selain melihat kepada tata pemerintahan Kerajaan Banjar, tata keraton Banjar juga dapat dianalogikan dengan Keraton Kotawaringin. Menurut catatan sejarah, Kerajaan Kotawaringin dibangun oleh keturunan raja-raja Banjar, maka dapat diasumsikan bahwa gambaran Keraton Banjar lebih jelas, sebab peninggalan Istana Raja Kotawaringin masih terpelihara hingga kini—meski sebelumnya pernah terbakar dan kemudian dibangun kembali. Dilihat dari masanya, pembangunan Istana Kotawaringin nampaknya pada periode dimana Kerajaan Banjar telah berpindah dari Kuin. Sebagaimana bangunan Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan, maka bangunan istana raja/keraton ini dibangun pada kondisi politik kolonialis Belanda. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa kediaman sultan yang dibangun di lokasi baru mungkin berbeda bentuknya dengan keraton sebelumnya atau bahkan hanya menempati bangunan yang sudah ada. Ada kemungkinan bangunan Istana di Kuin sangat berbeda jika dibandingkan dengan wujud keraton yang dibangun pada lokasi-lokasi perpindahan.
Dipicu oleh pertikaian dengan VOC Belanda, maka pada tahun 1612 pasukan VOC menyerang dan menghancurkan istana Kerajaan Banjar di Kuin. Dan sejak peristiwa tersebut, keberadaan istana Kerajaan Banjar selalu berpindah. Beberapa lokasi yang diperkirakan menurut catatan sejarah sebagai lokasi Kerajaan Banjar adalah daerah Kuin, Kayutangi, Martapura, Cempaka, Karang Intan, dan Sei Mesa.
Selanjutnya, akibat penyerangan pasukan VOC ke istana Kerajaan Banjar di Kuin, menyebabkan Sultan Mustainbillah memindahkan ibukota kerajaan dan istana kerajaan ke daerah Batang Banyu/Kayu Tangi/Teluk Selong. Tidak banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai istana Kerajaan Banjar selama di daerah Batang Banyu ini.
Sedikit gambaran tentang keraton Kayu Tangi terdapat dalam M. Idwar Saleh (1958) yang menyebutkan bahwa Andreas Paravicini, seorang utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan Banjarmasin menulis laporannya tentang keraton Sultan di Kayu Tangi :
“…..mula-mula barisan tombak berlapis perak, dibelakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba dibahagian pertama keraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal mereah bersenjatakan perisai dan pedang. Setelah tiba dibahagian kedua keraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan diantarkan oleh pasukan pengawal biru kebahagian keraton yang merupakan ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi denga rumbai-rumbai hingga membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia….”.

Selain itu, W.A. Van Rees dalam bukunya De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863 (Arnhem D.A. Thieme 1865) juga menggambarkan kondisi keraton Banjar:
De kraton bestond uit een, zestal zeer vervallen woningen, gedeeltelijk door een hoogen aarden wal, gedeeltelijk door een halfvergane ijzerhouten pagger omgeven. Op het plein, tusschen het weelderig opgeschoten gras, lag een dertigtal onbruikbare kanonnen. Het voornaamste gebouw was de troonzaal, in 1786 door Panembahan Ratoe gebouwd, 120 voet lang, 50 breed en 25 hoog, met kunstig snijwerk versierd, doch zoodanig in verval, dat men er niet zonder gevaar kon binnentreden. Daar vond men een ouden gammelang en eenige geheel onbruikbare wagens. Ook de woning des sulthans droeg de sporen van verregaande verwaarloozing en diep verval. Met uitzondering van de ontvangstzaal, was het huis opgepropt met kisten, kasten en manden; het geleek een waar rooversmagazijn, was slecht verlicht en armzaliger ingerigt dan de woning van menig welgesteld inlander. De huizen der pangerangs Praboe Anom en Mohamed Amin Oellah waren niet beter. En toch waren in die schamele woningen groote rijkdommen opgestapeld; toch lag onder al dat vuil een schat van diamanten en stofgoud verborgen. Ratoe Kamala alleen bezat een diamant van 103, een ander van 83, en een menigte anderen van 30 a 240 karaat. Slechts bij plegtige gelegenheden, op groote feestdagen wanneer er optogten werden gehouden, werd die rijkdom ten toon gespreid.

(Keraton (Kayutangi?) terdiri dari enam buah bangunan yang sangat reot, sebagian dikelilingi oleh tembok dari tanah, sebagian dengan pagar ulin yang telah lepas. Di halaman, di antara semak dan rumput yang subur, tersembunyi tigapuluhan buah meriam yang tidak dapat dipergunakan lagi. Bangunan yang paling utama ialah ruang singgasana yang dibangun oleh Panembahan Ratu di tahun 1786; dengan ukuran panjang 120 kaki, lebar 50 kaki, dan tinggi 25 kaki, dihias dengan ukiran-ukiran yang penuh seni, namun untuk melangkah masuk ke ruang ini harus sangat berhati-hati karena telah lapuk. Di ruang singgasana ini terdapat seperangkat gamelan yang tua, dan beberapa buah kereta yang sama sekali tidak dapat dipergunakan lagi.
Rumah-rumah para sultan memperlihatkan tanda-tanda pembengkalaian dan sangat lapuk. Terkecuali ruang untuk menerima tamu, kediaman (sultan) ini jejal dengan tumpukan lemari-lemari, peti-peti, dan keranjang-keranjang, terkesan seperti gudang penyamun, sangat gelap, dan tertata lebih buruk dari rumah milik orang-orang bumiputera yang berduit. Rumah-rumah kediaman pangeran-pangeran Prabu Anom dan Muhammad Aminullah tidak pula lebih baik. Namun, di dalam rumah-rumah yang keadaannya parah ini tertumpuk harta kekayaan besar; di bawah lapisan kotoran dan debu tersembunyi intan berlian dan mas urai. Seorang Ratu Kumala saja memiliki intan/berlian sebesar 103 dan 83 karat, dan banyak lagi yang 30 a 40 karat. Hanya pada acara-acara resmi, pada hari-hari besar yang dirayakan oleh penduduk, dipamerkan harta kekayaan kerajaan itu)

Apa yang telah dipaparkan oleh W.A. Van Rees sepertinya adalah kondisi keraton terakhir di Martapura. Keraton Banjar di Martapura itu pernah dilukiskan oleh C.A.L.M. Schwaner yang melakukan perjalanan antara tahun 1843-1847 dan kemudian ia tuangkan dalam bukunya sebanyak 2 jilid berjudul : Borneo. Beschrijving van het stroomgebied van den Barito, PN van Kampen, Amsterdam, 1853-1854 (lihat Helius Sjamsuddin, 2001).
Lukisan keraton yang juga disebut “dalem” menurut gambaran Schawaner itu juga terdapat dalam buku Inventaris Arsip Borneo (ANRI, 1986) dengan keterangan “Istana Sultan Banjarmasin dari dari C.W. Meiling (Amsterdam, 1853-1854)”. Hal itu maksudnya adalah bahwa C.W. Meiling mereproduksi lukisan itu dari buku Schwaner terbitan Amsterdam 1853-1854. Lukisan keraton dari buku Schawaner atau dari C.W. Meiling itulah J.J. Ras mereproduksinya ke dalam disertasinya yang ia terbitkan tahun 1968 berjudul Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. Di bawah lukisan keraton itu, J.J. Ras menulis keterangan: The last kraton the Bandjarese kings.
Menurut catatan sejarah, Kerajaan Banjar juga pernah dibangun di Karang Intan. Istana Kerajaan Banjar di Karang Intan dibangun oleh Sultan Sulaeman dan makam Sultan Sulaeman juga terletak di Karang Intan.
Adapun mengenai informasi tentang Kerajaan Banjar di Cahaya Bumi Selamat/Martapura dibangun oleh Sultan Tahmidullah. Sultan Tahmidullah atau Panembahan Adam menjadikan Martapura sebagai ibu kota kerajaan dengan keratonnya yang diberi nama Bumi Kencana. Bumi Selamat adalah untuk keraton Sultan di Martapura. Nama Keraton Bumi Selamat baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya disebut Keraton Bumi Kencana. Tentang nama Keraton Bumi Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda, 11 Agustus 1806 (lihat ANRI, 1965).
Jika mengacu pada lukisan keraton sebagaimana digambarkan C.A.L.M. Schwaner maupun C.W. Meiling bahwa atap bangunan berbentuk limas persegi empat panjang, maka gambaran itu berbeda dengan syair yang terdapat dalam buku Amir Hasan Bondan (1953) yang menyatakan bahwa pada tahun 1855 di lingkungan keraton di Martapura sedikitnya terdiri dari enam bangunan utama, di antaranya banguan (rumah) yang disebut ‘Bubungan Tinggi’, sebagai tempat kediaman raja (panembahan). Selebihnya, didasarkan pada tuturan adat Banjar, terdapat bangunan yang disebut Palimasan, Balai Laki, dan Gajah Manyusu.
Bunyi tuturan itu sebagaimana dikutip Bondan: “bubungan tinggi wadah raja / palimasan wadah amas perak / balai laki wadah punggawa mantri / gajah manyusu wadah warit raja (para gusti dan nanang)”. Kembali kita tidak bisa memastikan apakah untuk melengkapi enam bangunan sebagaimana yang disebutkan itu terdapat juga dua dari tiga jenis bangunan lain, yaitu: balai bini, gajah baliku, dan/atau palimbangan.
Rumah Bubungan Tinggi sebagai kediaman sultan menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953) terdiri dari:
-palatar adalah ruangan bagian muka
-panampik kacil merupakan ruangan bagian dalam
-panampik basar atau ambin sayup adalah ruangan di tengah rumah
-panampik panangah, ruangan rumah bagian dalam
-anjung adalah ruangan untuk peraduan sultan
-panampik bawah adalah ruangan yang berada di belakang
-padapuran merupakan bagian dapur
Bangsal untuk menerima tamu terletak di panampik basar. Seluruh bagian istana dibatasi oleh dinding-dinding yang kuat. Bangunan pokok dari istana adalah balairung, tempat duduk raja bila menerima pejabat istana. Bangunan istana terbuat dari kayu besi (ulin), papan dengan diberi hiasan. Panjang bangunan kira-kira 120 kaki, lebar 50 kaki dan tinggi 25 kaki. Bagian timur dari istana diberi batas dinding dari tanah setinggi 20 kaki, sedang sisi lainnya dibatasi oleh pagar kayu besi, tingginya kira-kira 20 kaki (Ideham, dkk. editor, 2003).
Bentuk dan pembagian dalam ruangan istana secara keseluruhan berkaitan dengan kepercayaan dan pandangan Orang Ngaju yang menganggap, Burung Enggang sebagai lambang alam atas. Bentuk istana (bubungan tinggi) dibangun mengikuti bentuk cacak burung (jejak tapak burung). Bentuk cacak burung ini dipandang sebagai perpaduan antara garis yang melambangkan keseimbangan kekuatan untuk mempertahankan diri dalam melestarikan kehidupannya. Di bagian puncak atap rumah, yang disebut bubungan, diukir bergambarkan burung enggang yang bersifat jantan sebagai bagian dari dwitunggal penguasa alam dari kosmologi Agama Helu. Orang Ngaju menyebutnya Agama Tempon Telon atau yang lebih dikenal dengan nama Kaharingan. Di sebelah luar ruang depan yang disebut panapih anjung dan panapih peluaran, ditopang oleh tiang-tiang yang diukir dengan gambar ular atau jata, sebagai sifat kewanitaan dari dwitunggal alam bawah. (Saleh, 1981/1982; Ideham, dkk. editor, 2003).
Selain itu, menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953) Istana (keraton) dan rumah-rumah orang terkemuka di wilayah Kalimantan (Selatan) senantiasa di bagian depannya dibangun gerbang (gapura). Tiap gerbang yang dibangun mempunyai bentuk dan corak tertentu disesuaikan dengan derajat atau kedudukan pemiliknya. Sedikitnya pada masa dahulu itu terdapat lima jenis gerbang, yaitu:
1. Gerbang Sungkul Awan Batulis (Raja)
2. Gerbang Ganjur (Menteri Besar, Mangkubumi)
3. Gerbang Pucuk Rabung (Kadang Aji, para bangsawan)
4. Gerbang Tameng (Pahlawan, para ksatria)
5. Gerbang Benji (Menteri, Lurah, dan Saudagar)
Sayangnya Bondan hanya menyebut pada “masa dahulu sekali” setelah terlebih dahulu sedikit mengemukakan mengenai masa sebelum Kerajaan Banjarmasin ketika mengemukakan mengenai jenis-jenis gerbang itu. Oleh karenanya, apakah jenis-jenis gerbang itu digunakan sejak dan sampai periode Kerajaan Banjarmasin, agak kabur.
Apa yang telah digambarkan John Andreas Paravicini, C.A.L.M. Schwaner C.W. Meiling, dan Amir Hasan Bondan yang kemudian juga dijadikan sumber informasi di Museum Negeri Lambung Mangkurat Banjarbaru, tampak terlihat adanya pagar tinggi yang terbuat dari batang pohon mengelilingi kompleks istana. Atap bangunan terlihat di balik pagar, dan memiliki bentuk limas persegi empat panjang.

Gambar 2. Lukisan Kraton Banjarmasin masa Sultan Tamjidillah (1856-1859) di Sungai Mesa Sumber: M. Idwar Saleh (1983/1984).

Selain di lokasi-lokasi yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, Istana Kerajaan Banjar juga pernah diberitakan berada di Sungai Mesa, Banjarmasin. Keraton Banjar di Sungai Mesa terjadi ketika Sultan Adam pindah ke Banjarmasin bersama isterinya Nyai Ratu Kamala Sari dan tinggal di daerah Sungai Mesa sekarang. Perpindahan yang terjadi tahun 1857 itu karena akibat anak sultan yang terakhir, Pangeran Prabu Anom diasingkan Belanda ke Banjarmasin dari Martapura. Sultan Adam ikut pindah ke Banjarmasin untuk kepentingan dan keselamatan puteranya.
Setelah Sultan Adam wafat pada 1 November 1857, sampai tahun 1860 kampung Keraton Sungai Mesa, menjadi pusat kegiatan pemerintahan kerajaan yang terakhir, dibawah Sultan Tamjidillah, sedang mangkubumi tetap tinggal di Martapura (Saleh, 1981/1982).

III. PENUTUP
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa: (1) Wujud arsitektural Keraton Banjar seperti tata letak dan jumlah bangunan yang terdapat dalam komplek keraton dapat dikaitkan atau mencerminkan struktur pemerintahan yang berlaku pada saat itu; (2) Bentuk keraton atau kediaman sultan yang dibangun di lokasi perpindahan keraton (Kuin ke Muara Tambangan, seterusnya Batangbanyu/Kayu Tangi/Teluk Selong, Karang Intan, Martapura dan kembali ke Banjarmasin) mungkin berbeda bentuknya dengan keraton sebelumnya atau bahkan hanya menempati bangunan yang sudah ada; (3) Bangunan utama pada kompleks keraton Banjar adalah rumah Bubungan Tinggi sebagai tempat raja bertahta; (4) Meski sangat terbatas, data berupa lukisan dan tulisan tentang keraton Banjar kiranya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bahan untuk merekonstruksi model arsitektur keraton Banjar jika keraton Banjar kelak dibangun kembali di suatu tempat di Kalimantan Selatan.

0 komentar :

Posting Komentar

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More