• slide 1

    Save Banjarmasin

    Sekilas Tentang Banjarmasin

  • slide 2

    Featured 2

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide 3

    Featured 3

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide 4

    Featured 4

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide 5

    Featured 5

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide 6

    Featured 6

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua....

  • slide nav 1

    Save Banjarmasin

    Sekilas Tentang Banjarmasin
  • slide nav 2

    Featured 2

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...
  • slide nav 3

    Featured 3

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...
  • slide nav 4

    Featured 4

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...
  • slide nav 5

    Featured 5

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...
  • slide nav 6

    Featured 6

    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor ...

Welcome to Fresh Revolution

Delete this element to display blogger navbar

2 Permainan Balogo


Balogo merupakan salah satu nama jenis permainan tradisional suku Banjar di Kalimantan Selatan. Permainan ini dilakukan oleh anak-anak sampai dengan remaja dan umumnya hanya dimainkan kaum pria.

Nama permainan balogo diambil dari kata logo, yaitu bermain dengan menggunakan alat logo. Logo terbuat dari bahan tempurung kelapa dengan ukuran garis tengah sekitar 5-7 cm dan tebal antara 1-2 cm dan kebanyakan dibuat berlapis dua yang direkatkan dengan bahan aspal atau dempul supaya berat dan kuat.

Bentuk alat logo ini bermacam-macam, ada yang berbentuk bidawang (bulus), biuku (penyu), segitiga, bentuk layang-layang, daun dan bundar.

Dalam permainnannya harus dibantu dengan sebuah alat yang disebut panapak atau kadang-kadang beberapa daerah ada yang menyebutnya dengan campa ,yakni stik atau alat pemukul yang panjangnya sekitar 40 cm dengan lebar 2 cm. Fungsi panapak atau campa ini adalah untuk mendorong logo agar bisa meluncur dan merobohkan logo pihak lawan yang dipasang saat bermain.

Permainan balogo ini bisa dilakukan satu lawan satu atau secara beregu. Jika dimainkan secara beregu, maka jumlah pemain yang “naik” (yang melakukan permainan) harus sama dengan jumlah pemain yang “pasang”

(pemain yang logonya dipasang untuk dirobohkan) Jumlah pemain beregu minimal 2 orang dan maksimal 5 orang. Dengan demikian jumlah logo yang dimainkan sebanyak jumlah pemain yang disepakati dalam permainan.

Cara memasang logo ini adalah didirikan berderet ke belakang pada garis-garis melintang. Karenanya inti dari permainan balogo ini adalah keterampilan memainkanlogo agar bisa merobohkan logo lawan yang dipasang. Regu yang paling banyak dapat merobohkan logo lawan, mereka itulah pemenangnya.

Sebagai akhir permainan, pihak yang menang disebut dengan “janggut” dan boleh mengelus-elus bagian dagu atau jenggot pihak lawan yang kalah sambil mengucapkan teriakan “janggut-janggut” secara berulang-ulang yang tentunya membuat pihak yang kalah malu, tetapi bisa menerimanya sebagai sebuah kekalahan.

Mamang dalam permainan balogo :

santuk kilan bela (muka) patah cempa sekali lagi

Permainan balogo ini masih populer dimainkan di masyarakat Banjar hingga tahun 80-an. Sampai akhirnya dikalahkan oleh permainan elektronik modern.

sumber : Kerajaan banjar virtual

Read more

0 Kesenian Madihin

Kesenian madihin memiliki kemiripan dengan kesenian lamut, bedanya terdapat pada cara penyampaian syairnya. Dalam lamut syair yang disampaikan berupa sebuah cerita atau dongeng yang sudah sering didengar dan lebih mengarah pada seni teater dengan adanya pemain dan tokoh cerita. Sedangkan lirik syair dalam madihin sering dibuat secara spontan oleh pemadihinnya dan lebih mengandung humor segar yang menghibur dengan nasihat-nasihat yang bermanfaat.

Menurut berbagai keterangan asal kata madihin dari kata madah, sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia karena ia menyanyikan syair-syair yang berasal dari kalimat akhir bersamaan bunyi. Madah bisa juga diartikan sebagai kalimat puji-pujian (bahasa Arab) hal ini bisa dilihat dari kalimat dalam madihin yang kadangkala berupa puji-pujian. Pendapat lain mengatakan kata madihin berasal dari bahasa Banjar yaitu papadahan atau mamadahi (memberi nasihat), pendapat ini juga bisa dibenarkan karena isi dari syairnya sering berisi nasihat.

Asal mula timbulnya kesenian madihin sulit ditegaskan. Ada yang berpendapat dari kampung Tawia, Angkinang, Hulu Sungai Selatan. Dari Kampun Tawia inilah kemudian tersebar keseluruh Kalimantan Selatan bahkan Kalimantan Timur. Pemain madihin yang terkenal umumnya berasal dari kampung Tawia. Ada juga yang mengatakan kesenian ini berasal dari Malaka sebab madihin dipengaruhi oleh syair dan gendang tradisional dari tanah semenanjung Malaka yang sering dipakai dalam mengiringi irama tradisional Melayu asli.

Cuma yang jelas madihin hanya mengenal bahasa Banjar dalam semua syairnya yang berarti orang yang memulainya adalah dari suku Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan, sehingga bisa dilogikakan bahwa madihin berasal dari Kalimantan Selatan. Diperkirakan madihin telah ada semenjak Islam menyebar di Kerajaan Banjar lahirnya dipengaruhi kasidah.

Pada waktu dulu fungsi utama madihin untuk menghibur raja atau pejabat istana, isi syair yang dibawakan berisi puji-pujian kepada kerajaan. Selanjutnya madihin berkembang fungsi menjadi hiburan rakyat di waktu-waktu tertentu, misalnya pengisi hiburan sehabis panen, memeriahkan persandingan penganten dan memeriahkan hari besar lainnya.

Kesenian madihin umumnya digelarkan pada malam hari, lama pergelaran biasanya lebih kurang 1 sampai 2 jam sesuai permintaan penyelenggara. Dahulu pementasannya banyak dilakukan di lapangan terbuka agar menampung penonton banyak, sekarang madihin lebih sering digelarkan di dalam gedung tertutup.

Madihin bisa dibawakan oleh 2 sampai 4 pemain, apabila yang bermain banyak maka mereka seolah-olah bertanding adu kehebatan syair, saling bertanya jawab, saling sindir, dan saling kalah mengalahkan melalui syair yang mereka ciptakan. Duel ini disebut baadu kaharatan (adu kehebatan), kelompok atau pemadihinan yang terlambat atau tidak bisa membalas syair dari lawannya akan dinyatakan kalah. Jika dimainkan hanya satu orang maka pemadihinan tersebut harus bisa mengatur rampak gendang dan suara yang akan ditampilkan untuk memberikan efek dinamis dalam penyampaian syair. Pemadihinan secara tunggal seperti seorang orator, ia harus pandai menarik perhatian penonton dengan humor segar serta pukulan tarbang yang memukau dengan irama yang cantik.

Dalam pergelaran madihin ada sebuah struktur yang sudah baku, yaitu:

  1. Pembukaan, dengan melagukan sampiran sebuah pantun yang diawali pukulan tarbang disebut pukulan pembuka. Sampiran pantun ini biasanya memberikan informasi awal tentang tema madihin yang akan dibawakan nantinya.
  2. Memasang tabi, yakni membawakan syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, ucapan terima kasih dan memohon maaf apabila ada kekeliruan dalam pergelaran nantinya.
  3. Menyampaikan isi (manguran), menyampaikan syair-syair yang isinya selaras dengan tema pergelaran atau sesuai yang diminta tuan rumah, sebelumnya disampaikan dulu sampiran pembukaan syair (mamacah bunga).
  4. Penutup, menyimpulkan apa maksud syair sambil menghormati penonton memohon pamit ditutup dengan pantun penutup.

Saat ini pemadihin yang terkenal di Kalimantan Selatan adalah John Tralala dan anaknya Hendra.

sumber : kerajaan banjar virtual

Read more

0 Surat Wasiat Sultan Adam Untuk Pangeran Hidayatullah


Naskah Asli tersimpan baik oleh Ratu Yus Roostianah Keturunan garis ke-3 / cicit dari Pangeran Hidayatullah

Surat diatas merupakan tulisan tangan dalam huruf arab berbahasa Melayu Banjar.

Terjemahan :

Bismillahirrahmannirrohim

Asyhadualla ilaha ilalloh naik saksi aku tiada Tuhan lain yang di sembah dengan se-benar2nya hanya Allah

Wa asyhaduanna Muhammadarasululloh naik saksi aku Nabi Muhammad itu se-benar2nya pesuruh Allah Ta’ala

Dan kemudian dari pada itu aku menyaksikan kepada dua orang baik2 yang memegang hukum agama Islam yang pertama Mufti Haji Jamaludin yang kedua pengulu Haji Mahmut serta aku adalah didalam tetap ibadahku dan sempurna ingatanku.

Maka adalah aku memberi kepada cucuku Andarun bernama Pangeran Hidayatullah suatu desa namanya Riyam Kanan maka adalah perwatasan tersebut dibawah ini ;

Mulai di Muha Bincau terus di Teluk Sanggar dan Pamandian Walanda dan Jawa dan terus di Gunung Rungging terus di Gunung Kupang terus di Gunung Rundan dan terus di Kepalamandin dan Padang Basar terus di Pasiraman Gunung Pamaton terus di Gunung Damar terus di Junggur dari Junggur terus di Kala’an terus di Gunung Hakung dari Hakung terus di Gunung Baratus, itulah perwatasan yang didarat.

Adapun perwatasan yang di pinggir sungai besar maka adalah yang tersebut dibawah ini;

Mulai di Teluk Simarak terus diseberang Pakan Jati terus seberang Lok Tunggul terus Seberang Danau Salak naik kedaratnya Batu Tiris terus Abirau terus di Padang Kancur dan Mandiwarah menyebelah Gunung Tunggul Buta terus kepada pahalatan Riyam Kanan dan Riyam Kiwa dan Pahalatan Riyam Kanan dengan tamunih yaitu Kusan.

Kemudian aku memberi Keris namanya Abu Gagang kepada cucuku.

Kemudian lagi aku memberi pula suatu desa namanya Margasari dan Muhara Marampiyau dan terus di Pabaungan kaulunya Muhara Papandayan terus kepada desa Batang Kulur dan desa Balimau dan desa Rantau dan desa Banua Padang terus kaulunya Banua Tapin.

Demikianlah yang berikan kepada cucuku adanya.

Syahdan maka adalah pemberianku yang tersebut didalam ini surat kepada cucuku andarun Hidayatullah hingga turun temurun anak cucunya cucuku andarun Hidayatullah serta barang siapa ada yang maharu biru maka yaitu aku tiada ridho dunia akhirat.

Kemudian aku memberi tahu kepada sekalian anak cucuku dan sekalian Raja-raja yang lain dan sekalian hamba rakyatku semuanya mesti me-Rajakan kepada cucuku andarun Hidayatullah ini buat ganti anakku Abdur Rahman adanya

Tertulis kepada hari Isnain tanggal 12 bulan Shofar 1259

sumber : kerajaan banjar virtual

Read more

5 Kisah Legendaris Perang Banjar

Banyak kisah legendaries pada masa Perang Banjar yang berlangsung sejak 1859 sampai 1865. salah satunya terdapat pasukan berani mati yang dinamakan Pasukan Perang Beratib Ba-mal. Sampai sekarang, nama Pasukan ini masih sangat melegenda….

Awal mula terjadinya konflik di Keraton Banjar adalah ketika Sultan Tahmudiah I wafat. Beliau mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Oleh sebab itu, untuk sementara kekuasaan dipegang oleh Pangeran Tamjidillah I, saudara, Sultan Tahmidillah I. Namun pada kenyataannya, Pangeran Tamjidillah I bukan hanya menjadi wali kemenakannya yang masih kecil, tetapi mengambil alih kekuasaan dengan halus dan tak mau mengembalikan

kepada anak Sultan Tahmidillah I. Bahkan untuk memperkuat kedudukannya sebagai Sultan beserta anak cucunya dikemudian hari, Tanah Banjar diserahkan kepada Belanda. Kemudian oleh Belanda hakPemerintahan pun diberikan kepada Sultan Tamjid I dan keturunannya.

Oleh sebab itu terjadilah perlawanan bersenjata dari Pangeran Amir(Kakek pahlawan Pangeran Antasari), keturunan Sultan Tahmidillah I. Namun perlawanannya dapat dipatahkan oleh Belanda. Dia kemudian diasingkan ke Ceylon atau Srilanka.

Untuk mendamaikan kedua keturunan tersebut, maka, Sultan Adam Al Wasique Billah yang merupakan keturunan Sultan Tamjidillah I menikahkan puterinya dengan Pangeran Antasari. Namun sayang, Ratu Antasari keburu wafat sebelum memberi keturunan.

Di samping itu, Sultan Muda Pangeran Abdurrahrnan juga mempunyai seorang selir bangsa Cina. Pada 1817 sang selir melahirkan seorang putera. Sultan Muda Pangeran Abdurrahman menginginkan putera tersebut menjadi putra mahkota. Oleh sebab itu maka ibunya dimerdekakan dan dinikahi secara sah dan diberi nama Nyai Besar Aminah. Sedangkan puteranya diberi nama Pangeran Tamjidilllah,

Keinginan Sultan Muda Pangeran Abdurrahman tersebut ditentang oleh Kakek dan Ayahnya yaitu Sultan Sulaiman dan Sultan Adam Al Wasiqu`Billah. Mereka memaksa Sultan Muda Pangeran Abdurrahman menikah dengan saudara sepupu sendiri yaitu Ratu Siti, Puteri Mangkubumi Nata.

Mangkubumi Nata besedia menikahkan puterinya dengan Sultan Muda Pangeran Abdurrahman dengan syarat, putera yang lahir nantinya akan menjadi raja apabila Sultan Muda wafat. Syarat ini disetujui, dan Sultan Muda pun membuat surat wasiat tentang siapa-siapa yang berhak atas singgasana Kesultanan Banjar.

Pada 1822Iahirlah Pangeran Hidayatutlah. Beberapa tahun kemudian Mangkubumi Nata wafat sehingga jabatan’tersebut. kosong. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pangeran Tamjid dengan sebaik-baiknya, yaitu meminta agar Belanda mengangkatnya sebagai Mangkubumi di Kesultanan Banjar.` Dengan senang hati, tentu saja pihak Belanda menyetujui karena akan menguntungkan’ mereka.’

Pada 1852 Sultan Muda Pangeran Abdurrahman wafat secara tiba-tiba. Sehari kemudian dengan diam-diam Pengeran Tamjid mengirim surat kepada Residen Belanda di Banjarmasin agar mengangkatnya sebagai putera mahkota Kesultanan Banjar dengan menjanjikan penyerahan wilayah-wilayah yang diminta Belanda asal permintaannya disetujui. Sekali lagi Belanda mengabulkan permintaan Pangeran Tamjid, karena bagi Belanda ini adalah kesempatan menangguk ikan di air keruh, sekaligus menjalankan politik devide et empera: pecah belah lalu jajah.

Pada 10 Juni 1852 Belanda menobatkan Pangeran Tamjid menjadi putera mahkota. Tentu saja pengangkatan ini menimbulkan reaksi kemarahan bagi para kaum bangsawan, ulama dan masyarakat terhadap Pangeran Tamjid beserta sekutunya, terutama orang-­orang Belanda.

Pada April 1853, Sultan Adam, Putera Sultan Muda Pangeran Abdurrahman mengirim utusan ke Betawi untuk menemui Gubernur Jenderal Hindia Belanda guna meminta keadilan pembatalan pengangkatan PangeranTamjid menjadi putera mahkota dan Menetapkan Pangeran Hidayatullah menjadi putera mahkota sesuai dengan testamen Sultan Adam. Tetapi permintaan ini ditolak oleh Gubemur Hindia Belanda. Hal ini menambah semakin panasnya suhu politik di Kerajaan Banjar sehingga Pangeran Tamjid tidak berani tinggal di Keraton Banjar yang terletak di­Ibukota Permata Pura (Kota Permata) yang oleh orang Banjar disebut Kota Martapura sekarang Martapura ibukota Kabupaten Banjar.

Pangeran Tamjid mengungsi ke Keraton Banjarmasin. Untuk mendinginkan suasana politik yang semakin panas, akhimya .Belanda mengangkat Pengeran HidayatuIlah menjadi Mangkubumi yang sebelumnya dijabat oleh PangeranTamjid dan menetapkan PangeranTamjid sebagai putera mahkota. Selain itu Belanda menangkap Pangeran Prabu Anom serta mengasingkannya ke Banjarmasin karena dianggap sebagai provokator yang menentang keputusan­-keputusan Belanda.

Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terhadap puteranya, maka, Sultan Adam pun ikut mendampingi Pangeran Prabu Anom pindah ke Banjarmasin. Ketika gering, atau sakit keras, beliau pun dibawa ke Keraton Banjar di Martapura. Pada 01 Nopember 1857 beliau wafat dan dimakamkan di Martapura

Pada 3 Nopember 1857 Belanda menobatkan Pangeran Tamjid sebagai raja pengganti Sultan Adam, dan dengan serta merta Pangeran Tamjid memerintahkan penangkapan terhadap Pangeran Prabu Anom kemudian membuangnya ke Bogor, Jawa barat.

Pada 1858, timbul suatu gerakan rakyat yang ingin mengembalikan kebudayaan dan konsesi kerajaan yang sudah rusak akibat masuknya kekuasaan penjajajah Belanda.

MUNCULNYA TITISAN PUTERI JUNJUNG BUIH

Disebutkan, puteri gaib yang muncul dari buih pusaran air, kemudian oleh Lambung Mangkurat dinobatkan sebagai ratu di Kerajaan Nagara Dipa, dan kemudian dinikahkan dengan bangsawan Keraton Majapahit yang bernama Raden Putra

Setelah nikah dengan Puteri Junjung Buih, Raden Putra menjadi raja di Kerajaan Nagara Dipa dengan nama Pangeran Surya Ananta (anak matahari). Menurut legenda masyarakat Banjar, mereka berdua-pada akhirnya mokswa atau menghilang ke alam gaib dan menjadi penguasa di Keraton Gaib Gunung Pamaton

Menurut kepercayaan masyarakat, mereka berdua bisa menitis atau merasuki raga orang yang mereka inginkan.

Demikianlah, pada waktu suhu politik di Kerajaan Banjar semakin panas karena turut campur tangan Belanda pada penobatan Pangeran Tamjid sebagai raja di Kerajaan Banjar untuk menggantikan Sultan Adam karena Sultan Muda Pangeran Abdurrahman sudah wafat terlebih dahulu. Padahal, kaum bangsawan, alim ulama dan masyarakat Banjar menghendaki Pangeran Hidayatullah menjadi Sultan, sesuai dengan testamen atau wasiat Sultan terdahulu

Salah seorang ulama yang shaleh di Kumbayau Tambarangan, Rantau (Kabupaten Tapi sekarang), bernama Datu Aling merasa prihatin akan kemelut di dalam Keraton Banjar tersebut. Oleh,sebab itu beliau salampah atau tirakat dengan menyepi seorang diri, melakukan puasa, sholat, wirid dan zikir, serta amalan-amalan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, disertai permohonan agar diberi petunjuk dan jalan keluar atas kemelut yang sedang terjadi di dalam Keraton Banjar. Tirakat Datu Aling_dilaksanakan selama sembilan bulan sembilan hari, dimulai pada April 1858 sampai. dengan Februari 1859.

Pada 2 Februari 1859 bertepatan dengan 10 Rajab 1275 H; Datu Aling didatangi oleh raja-raja gaib Kerajaan Banjar dan meminta Datu Aling untuk mendatangkan Pangeran Antasari ke daerah Muning. Dia akan memulai kerajaan Baru sampai raja yang sah terpilih.

Pada 13 Rajab 1275 H, Puteri Datu Aling yang bernama Saranti, dirasuki oleh Puteri Junjung Buih. Dia minta dinikahkan dengan seorang pemuda kampung yang bernama Dulasa karena di dalam tubuhnya benemayam ruh gaib Pangeran Surya Ananta.

Mendengar semua itu, maka, Datu Aling pun Melaksanakan seluruh keinginan puterinya tersebut. Setelah dinikahkan dengan Dulasa, maka, Saranti diberi nama Puteri Junjung Buih dan suaminya Dulasa diberi nama Pangeran Surya Ananta. Kemudian Datu Aling mengumumkan kepada masyarakat tentang penobatan Saranti, raja titisan Puteri Junjung Buih. Daerah Kumbayau namanya diganti menjadi Kerajaan Tambay Mekah. Sebagai raja di Kerajaan Tambay Mekah, Saranti titisan Puteri Junjung Buih mengangkat ayahya, Datu Aling, sebagai panembahan, kakaknya Sambang diberi gelar Sultan Kuning, kakak Perempuannya Nuramin diberi gelar Ratu Keramat, sedangkan suami Nuramin diberi gelar seperti Mangkubumi Kusuma Nagara, Bayan Sampit, Garuntung Waluh, Garumung Manau, Kindaui Aji, Kindui Mu`l, Pembelah Batung, Panimba Sagara, ada pula Panglima Juntai Di Langit dan lain sebagainya.

Kerajaan Tambay Mekah terpisah dari Kesultanan Banjar dan tidak tunduk kepada penjajah Belanda. Saranti titisan Junjung Buih menjadi ratu di KerajaanTambay Mekah hanya sebagai simbol kepala negara, sedangkan urusan pemerintah dipegang,oleh Penembahan Muda Datu Aling. Sebagai seorang Panembahan, yang shaleh, adil dan bijaksana dia bekerja sama dengan Segera Banua Ampat, yaitu: Banua Halat, Banua Gadung, Banua Padang dan Banua Parigi. Mereka ini tunduk kepada Datu Aling. Kemudian mengikuti pula Banua Atas, Batang Hulu, Jambu, Amandit dan Pangabau

Kepada para pengikutnya, Datu Aling selalu menanamkan semangat jihad demi melawan ketidakadilan dan penjajahan. Seruan Datu Aling untuk melakukan jihad yang mendapat respon luar biasa dari masyarakat, ternyata membuat Pangeran Tamjid beserta Belanda merasa teracam kedudukannya. Untuk itu Residen Belanda di Banjarmasin mengirim sebuah tim yang terdiri dari Jaksa Kepala. Pangeran Suryadinata dan Penghulu Kepala Pangeran Muhammad Seman disertai 120 pengikut

Mengetahui Akan kedatangan mereka, maka, Datu Aling pun memerintahkan anaknya Sultan Kuning menyiapkan pasukan jihadnya sebanyak 700 orang lengkap dengan senjata terhunus

untuk menjaga segala kemungkinan yang bakal_terjadi.Tentu saja utusan Residen Belanda tersebut terkesiap menyaksikan begitu banyak jumlah pasukan jihad Datu Aling yang stap tempur jika mereka berbuat macam-rnacam. Karena mereka hanya ingin menyaksikan keadaan yang sebenarnya di Kerajaan Mekah maka mereka pun dipersilahkan menemui Datu Aling di Istana Tambay Mekah.

Setelah mendengar laporan utusannya, sekali lagi Residen Belanda memerintahkan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah untuk menangani masalah Kerajaan Tambay Mekah. Kemudian Pangeran Hidayatullah mengutus Pangeran Antasari,. Pangeran Jantera Kesuma serta Pangeran Umar Syarif untuk menemui Datu Aling, Dalam pertemuan tersebut Datu Aling menjelaskan maksud dan tujuan didirikannya Kerajaan Tambay Mekah. Ternyata apa yang disampaikan oleh Datu Aling seiring sejalan dengart apa yang diinginkan oleh Pangeran Antasari. Hingga akhimya terjadilahn kesepakatan perjodohan antara anak Pangeran Antasari yang bernama Pangeran Muhammad Said dengan Saranti titisan Puteri Junjung Buih yang telah menjanda.

Dengan demikian bertambah kuatlah kedudukan Datu Aling karena setelah 30 hari pernikahan Pangeran Muhammad Said dengan Saranti, si titisan Puteri Junjung Buih, maka, Pangeran Antasari pun mulai aktif memimpin gerakan rakyat di Banua Ampat dan Banua lima yang diarahkan langsung kepada Belanda.

Puncaknyapada 28 April 1859 pasukan jihad Datu Aling yang berasal dari Banua Ampat dan Banua lima dibawah pimpinan Pangeran Antasari, menyerang benteng pertahanan Belanda Oranye Nassau di Pengaron. Penyerangan ini berhasil dengan gemilang. Itulah awal meletusnya Perang Banjar. Akhirnya, pertempuran pun meluas ke berbagai daerah di Kalimantan Selatan

Sebagai pembalasan atas jatuhnya benteng pertahanan Oranye Nassau di Pengaron, maka, pada 16 November 1859, secara tiba-tiba pasukan Belanda menyerang pertahanan Sultan Kuning. Serangan ini disambut dengan teriakan Allahu Akbar oleh pasukan jihad Datu Aling dibawah komando Sultan Kuning. Dalam pertempuran tersebut, pemimpin pasukan Belanda Kapten Benschop tewas terkena tombak. Hari itu juga datang lagi satu pleton pasukan Belanda yang lebih besar, namun semuanya berhasil dipukul mundur.

Pada malam harinya, datang lagi pasukan Belanda yang lebih besar menggempur benteng pertahanan Datu Aling yaitu di Masjid Muning. Pertempuran terjadi semalam suntuk. Datu Aling, Saranti Beserta beberapa orang pengikut setianya tetap bertahan di dalam masjid. Datu Aling tidak mau menyerah kepada Belanda meski api telah menjilat seluruh masjid yang terbuat dari kayu. Akhirnya, Datu Aling dan Saranti pun gugur sebagai syuhada.

Dengar gugurnya Datu Aling dan Saranti, maka, Pangeran Antasari mengeluarkan semboyan yang berbunyi “Heram manyareh, waja sampai ka putting:(haram menyerah kepada Belanda sampai tetesan darah terakhir)”

MUNCULNNYA PASUKAN PERANG BERATIB BA-AMAL

Penyerangan terhadap benteng-benteng, tambang-tambang batu bara, kapal perang dan lain-lain milik Belanda membuat si penjajah tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga pada 25 Juni 1859 Belanda memaksa Pangeran Tamjid turunt ahta dan membuangnya ke Bogor. Sedang Pangeran Hidayatullah lari dari Keraton Martapura bergabung dengan Pangeran Antasari.

Peperangan terjadi tidak hanya di daerah Kalimantan Selatan tetapi meluas sampai ke Kalimantan Tengah. Wilayah pertempuran Kalimantan Tengah yaitu Barito, Kapuas dan­ Katingan dipimpin oleh Pangeran Antasari didampingi oleh Tumenggung Surapati yang asli Suku Dayak. Daerah Martapura dan Tang Laut dipimpin oleh Demang Lehman, Daerah Banua Lima dipimpin oleh Jalil bergelar Kiyai Adipati Anom Dinding Raja.

Setelah Belanda meminta bantuan ke Batavia, maka, berdatanganlah kapal-kapal perang lengkap dengan serta serdadu-serdadu dan meriam-meriamnya. Kapal Perang Onrust berlayar ke Barito untuk menangkap Pangeran Antasari metalui Tumenggung Surapati. Namun Tumenggung Surapati tidak mau berkhianat meskipun Belanda menjanjikan hadiah beberapa ribu Gulden jika Tumenggung Surapati bisa menyerahkan Pangeran Antasari.

Pada 26 Desember 1859, tiba-tiba Tumenggung Surapati bersama anak buahnya menyerang kapal Onrust Dalam peristiwa ini Komandan kapal perang Onrust tewas beserta 93 anak buahnya. Senjata-senjata dan meriam meriamnya diangkut ke darat sedangkan kapalnya ditenggelamkan. Sementara itu, kapal perang Tjipanas yang mengarungi Sungai Martapura mendapat serangan dari Demang Lehman beserta anak buahnya sehingga buru­-buru kembali ke Banjarmasin.

Pada 11 Juni 1860, Belanda memproklamirkan dihapuskannya Kerajaan Banjar dan menjadikan wilayah itu sebagai jajahan Belanda. Dengan demikian perang melawan Belanda bukan lagi karena Belanda ikut campur tangan di dalam wilayah Keraton Banjar, tetapi perang melawan penjajahan Belanda yang ingin menghancurkan umat Islam. Oleh karena itu, pada 1861 muncullah pasukan berani mati demi membela agama Islam. Pasukan ini dinamakan Pasukan Perang Baratib Ba-amal. Landasan perjuangan mereka adalah Kalimah Allah, Hadist Nabi Muhammad SAW, minta syafa’at 40 nabi, keramat para Datu dan ilmu Pahlawan. Sebelum maju ke medan perang,terlebih dahulu, mereka mensucikan badan dari hadast dengan mandi dan wudhu, kemudian memakai pakaian putih-putih seperti pakaian perang zaman Rasullullah. Mereka juga berpuasa kemudian beratib ba amal (mengamalkan/mewiridkan salah satu amalan: Pen) hingga sampai lupa diri. Kemudian maju ke medan laga untuk menghadapi musuh. Mereka yakin, jika mereka gugur dalam pertempuran melawan orang-orang kafir Belanda dan sekutu­-sekutunya, mereka mati Syahid.

Pimpinan dari gerakan Perang Beratib Ba`mal ini adalah guru-guru agama dan penghulu. Di antara para pemimpin Pasukan Perang Baratib Ba-amal ini adalah Haji Badar dari Banua Lawas, Penghulu Rasyid, Penghulu Buyasin dan Abdul Gani dari kampung Selasih Amuntai.

Sementera itu Pula, Pangeran Hidayatullah yang telah dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Banjar di Amuntai berulang kali mendapat tawaran berdamai dari Belanda, namun tawaran itu selalu ditolaknya. Dengan tipu muslihatnya. Belanda memperdayai Pangeran Hidayatullah agar datang ke-Martapura atas perintah ibu Suri Ratu Siti. Ibu Suri Ratu Siti yang tidak bisa membaca huruf latin percaya begitu saja kepada Belanda sehingga mau menandatangani surat yang ditulis Belanda serta dibubuhi stempel Kerajaan Banjar. Sebagai orang yang sholeh, tentu Pangeran Hidatullah takut kepada ibunya. Pangeran Hidayatullah datang ke Martapura pada 3 Maret 1862. Padas aat itu pula, beliau ditangkap dan dibuang ke Cianjur.

Pangeran Antasari meneruskan perjuangan menentang Belanda. Namun sayang beliau yang mulai sakit-sakitan akhirnya berpulang ke Rahmatullah pada 11 Oktober 1862.

Meski demikian, perang masih berlanjut. Panglima Pasukan Perang Beratib Ba-Amal Haji Buyasin gugur dalam pertempuran, menyusul kemudian Ketua Penghulu Rasyid, Panglima Bukhari,Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro, dan lain-lainnya,

Demang Lehman, pemimpin Perang gerilya untukwilayah Martapura dan Tanah Laut tertangkap oleh penipuan Belanda di daerah Batu Licin kemudian diangkut ke Martapura dan dihukum gantung sampai mati di alun-alun III (sekarang halaman Masjid Agung Al-Karomah­Pen) Martapura. Setelah itu kepalanya dipotong dan dikirim ke negeri Belanda. Dan di lehernya terdapat kalung ajimat. Ketika ajimat tersebut dibuka di dalamnya terdapat kertas putih bertulis huruf Arab yaitu Mim yang artinya merdeka atau mati.

(dari berbagai sumber)

Read more

0 FESTIVAL BUDAYA PASAR TERAPUNG 2010



Tanggal 24 September 2010, kota Banjarmasin berulang tahun yang ke-484. Usia yang dibilang tua dibanding kota-kota lainnya di pulau Kalimantan. Kota ini terus berupaya membangun dan mempercantik dirinya. Meski renta, namun tetap “BUNGAS”, demikian kira-kira yang dikehendaki oleh pemerintah dan warga kota Banjarmasin.
Berbagai seni budaya dalam rangka menyambut ulang tahunnya itu digelar dalam kemasan bernama “Festival Budaya Pasar Terapung” bertempat di Jalan Jenderal Sudirman Banjarmasin, 25 s.d. 27 September 2010. Meski terkesan kurang promosi, festival tahunan itu cukup mengurangi dahaga atas kerinduan terhadap seni budaya tradisional yang oleh berbagai sebab semakin jarang dipentaskan.
Sebagian seni budaya Banjar memang mengalami perubahan karena adanya berbagai kontak budaya, disamping dampak kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi yang juga berimbas kepada pergeseran nilai-nilai budaya lokal.

Perubahan budaya di kota Banjarmasin, tidak terlepas dari pergeseran berbagai aktivitas kehidupan tradisional masyarakat ke arah budaya kota yang berbasis pada kegiatan industri perdagangan yang mementingkan aspek komersial.
Jika dahulu masyarakat kota Banjarmasin lekat dengan transportasi sungai, sehingga memunculkan budaya pasar terapung di Muara Kuin atau banyaknya warga yang menjajakan dagangannya dengan perahu di berbagai sungai dan kanal (Anjir/Antasan, Handil/ Tatah, dan Saka), kini aktivitas transportasi sungai mulai meredup; tidak seramai dahulu lagi. Orientasi kegiatan ekonomi perdagangan kini berpindah dari sungai ke daerah daratan, seiring dengan semakin membaiknya lintas tranportasi jalan di sekitar pasar terapung tersebut.
Kiranya tepat “Festival Budaya Pasar Terapung” dilaksanakan agar masyarakat kota Banjarmasin kembali mengenal dan mencintai seni budaya tradisional Banjar, khususnya budaya sungai yang telah terpinggirkan, sebagaimana pepatah mengatakan, “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”.
Read more

0 HASSAN BASRY: Pahlawan Nasional dari Kalsel

Dikenal sebagai Bapak Gerilya Kalimantan yang mendapat gelar Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 110/TK Tahun 2001, tanggal 3 November 2001. Hassan Basry dilahirkan di Padang Batung, Kandangan 17 Juni 1923. Pendidikannya Volkschool Padang Batung 1929-1932, HIS Kandangan 1940-1942, Tsanawiyah Al Wathaniyah Kandangan 1940-1942, Kweekschool Islam Pondok Modern Gontor Ponorogo 1942-1945, Al Azhar University 1951-1953, American University 1953-1955 dan SSKAD Bandung1956. Pada masa perjuangan ia merupakan aktivis PRI di Surabaya 1945, kemudian menyeberang ke Kalsel sebagai pemimpin Lasykar Syaifullah di Haruyan 1946, pemimpin Banteng Indonesia 1946, dan Komandan Batalyon ALRI Divisi IV “A” Pertahanan Kalimantan 1946. Ia mengembara sebagai ekstremis buronan di hutan-hutan Kalimantan. Namanya paling dibenci, tapi juga ditakuti Belanda, dan disegani pengikut-pengikutnya. Ia dipandang sebagai biangkeladi ekstremis paling berbahaya di kawasan ini. Namun oleh rakyat ia adalah “Bapak Gerilya” yang paling dicintai dan berkharisma pada zamannya. Ia adalah Pimpinan Umum/Komandan/Panglima/ Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.

Di tahun 1948-1949, ia berhasil memimpin perlawanan bersenjata sehingga pasukannya dapat menguasai sebagian besar wilayah territorial di Kalimantan Selatan minus kota-kota yang masih diduduki NICA.
Pada tanggal 17 Mei 1949 Hassan Basry atas nama rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan memproklamasikan Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“ PROKLAMASI “

Merdeka :
Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan, mempermaklumkan berdirinya pemerintahan Gubernur Tentara dari “ALRI” melingkungi seluruh daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia, untuk memenuhi isi Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetes darah yang penghabisan.

Tetap Merdeka !
Kandangan,17 Mei IV REP.
Atas nama rakyat Indonesia
di Kalimantan Selatan
Gubernur Tentara

HASSAN BASRY

Penguasaan para gerilyawan itu akhirnya memaksa Belanda meminta bantuan pihak militer Republik dan UNCI sebagai penengah dalam perundingan dengan pihak ALRI Divisi IV. Perundingan pertama kali antara ALRI Divisi IV yang diwakili Letkol Hassan Basry dengan pihak Belanda yang ditengahi Jenderal Mayor R. Suhardjo Hardjowardojo dari misi militer Republik dan UNCI berlangsung pada tanggal 2 September 1949 di Munggu Raya Kandangan. Selanjutnya setelah melalui beberapa pertemuan, perundingan resmi antara kedua belah pihak yang ditengahi oleh misi militer Republik dan UNCI tanggal 16/17 Oktober 1949 menghasilkan kesepakatan perhentian permusuhan secara resmi di Kalimantan Selatan.

Pada masa Orde Lama, Hassan Basry merupakan tokoh yang teguh pendiriannya dalam menentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Bersama Letnan Kolonel M. Yusi dan Gubernur H. Maksid dan didukung oleh masyarakat Kalsel yang agamis, ia dikenal sebagai tiga serangkai yang solid menentang Komunisme. Selaku Penguasa Perang Daerah (Peperda) Kalimantan Selatan, Hassan Basry mengeluarkan keputusan untuk sementara melarang kegiatan Partai Komunis Indonesia dalam Daerah Kalimantan Selatan dengan Surat Keputusan No. 140/S/K.P/tahun 1960 yang berlaku sejak tanggal 22 Agustus 1960.
Sikap Penguasa Perang Daerah Kalimantan Selatan ini diikuti oleh Daerah Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan, walaupun dua daerah ini tidak secara konkrit menuangkannya dalam Surat Keputusan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan PERISTIWA TIGA SELATAN.
Presiden Soekarno, selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia menyatakan kemarahannya terhadap adanya keputusan Peperda Kalimantan Selatan dalam Pidato Kenegaraan tanggal 17 Agustus 1962 yang berjudul “Tahun Kemenangan”, antara lain :

Malahan masih ada satu daerah, yang disitu itu belum dapat dibentuk Front Nasional Daerah, karena adanya orang-orang yang Komunisto Phobi. Kepada mereka itu saya berkata : Suatu hari akan datang yang saya melihat segala usahamu gagal. Dan mungkin satu hari akan datang, yang engkau harus menebus kejahatanmu itu di dalam penjara, atau tiang penggantungan.

Oleh Presiden Soekarno, Kolonel Hassan Basry diminta penjelasannya dalam rapat para Ketua Peperda se Indonesia, namun Hassan Basry tetap kukuh meski kemudian bahwa tindakan yang diambil oleh PEPERDA TIGA SELATAN akan diambil alih oleh PEPERTI untuk penyelesaiannya.
Satu minggu kemudian keluar pengumuman Peperti bahwa PKI dapat melakukan kegiatannya kembali di tiga daerah tersebut. Walaupun telah ada pengumuman Peperti, Kolonel Hassan Basry selaku Peperda Kalimantan Selatan tetap bertekat menghentikan kegiatan PKI dan ormas-ormasnya di Kalimantan Selatan. Pada awal September 1960, Kolonel Hassan Basry dipanggil menghadap Presiden dan meminta agar PKI diperbolehkan bergerak kembali, tetapi Kolonel Hassan Basry tetap pada pendiriannya menolak kegiatan PKI. Presiden Soekarno sampai dua kali mengajukan permintaan ini, tetapi Kolonel Hassan Basry tetap pada pendiriannya sehingga Presiden Soekarno sangat marah. Dan setahun kemudian barulah PKI dapat aktif kembali.
Hassan Basry meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto Jakarta pada tanggal 15 Juli 1984, dan keesokan harinya dimakamkan di Simpang Tiga desa Liang Anggang Km. 25 Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Read more

0 MUHAMMADIYAH DI KALIMANTAN SELATAN

Muhammadiyah pertamakali didirikan di Jogjakarta pada 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923).
Kapan dan dimana pertama kali Muhammadiyah tumbuh di Kalimantan Selatan belum dapat diketahui dengan jelas. Bila bertolak dari masuknya faham pembaharuan, maka proses ini telah berkembang sejak 1914 di Banjarmasin dengan didirikannya sekolah bernama Arabische School (kemudian menjadi Islamsche School) sebagai tempat penanaman faham pembaharuan oleh perkumpulan orang-orang keturunan Arab.

Sesudah Islamsche School, pada tahun 1916 didirikan lagi Al Madrasatul Arabiah al Walaniah di Seberang Masjid, dan Diniyah School di Sungai Kindaung pada tahun 1921. Sekolah-sekolah ini merupakan tempat persemaian pembaharuan Islam dan sebagian besar lulusannya menjadi simpatisan atau langsung menjadi anggota organisasi Muhammadiyah.
Pada tahun 1921 tiba di Banjarmasin Syekh Ahmad Surkati bersama-sama dengan utusan Kerajaan Saudi Arabia Syekh Abdul Aziz Al Aticy. Mereka menjadi pendorong pengikut pembaharuan di Banjarmasin seperti Muhammad bin Thalib, H. Ahmad Amin (Alumni Al Irsyad), H. Masykur, dan Yasin Amin. Bahkan H. Ahmad Amin dan H. Masykur akhirnya mendaftarkan diri menjadi anggota Muhammadiyah ke Pusat Pimpinan di Jogjakarta.
Pendorong pembaharuan di Banjarmasin bertambah ketika Maraja Sayuthi Lubis, utusan Centraal Sarekat Islam (CSI) datang ke Banjarmasin pada tahun 1921 yang dengan semangat dan keberaniannya terang-terangan menyatakan dirinya sebagai pengikut faham Abduh. Akibatnya jumlah tokoh pembaharuan semakin besar diantaranya H. Abdul Karim Corong, bahkan Mohammad Horman, Presiden SI cenderung kepada faham pembaharuan ini.
Meskipun faham Muhammadiyah telah masuk ke Banjarmasin sekitar tahun 1920, namun akibat kondisi masyarakatnya dan kurangnya kemampuan memenuhi persyaratan yang ditetapkan ditetapkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jogjakarta, maka Muhammadiyah lebih dahulu berdiri Alabio dan Kuala Kapuas daripada Banjarmasin.
Untuk daerah Martapura ajaran pembaharuan ini disampaikan oleh H. Muhammad Yusuf (Ustadz Haji Yusuf Jabal). Fatwa-fatwanya seirama dengan dengan faham-faham pembaharuan yang kemudian selaras dengan Muhammadiyah.
Muhammadiyah kemudian dapat berdiri pada tahun 1932 di Martapura berkat peranan H.M. Hasan Corong, seorang Ajunct Jaksa bersama dengan dua orang tokoh Arab, Abdullah bin Shif dan Ali Mubarak.
Di Alabio, cabang Muhammadiyah berdiri tahun 1925 diketuai Haji Jaferi. Tahun 1929 Muhammadiyah Alabio mengadakan Konperensi I yang dihadiri Pimpinan Pusat Muhammadiyah: A.R. Sutan Mansyur. Selesai konperensi beliau juga mengunjungi Muhammadiyah Kuala Kapuas dan Banjarmasin.
Berdasarkan surat ketetapan, Muhammadiyah cabang Alabio mendapat pengakuan dari pengurus besar berdasarkan Surat Ketetapan Nomor 253 tanggal 5 Maret 1930.
Sedangkan Muhammadiyah cabang Kuala Kapuas meski berdiri setelah Alabio, ternyata mendapat surat penetapan lebih dahulu yakni Surat Ketetapan No.128 bertanggal 1 Juli 1928, sedangkan Surat Ketetapan Muhammadiyah Banjarmasin Nomor 254 tertanggal 5 Maret 1930. Bermula dari Alabio inilah kemudian Muhammadiyah menyebar ke daerah-daerah lain di Kalimantan Selatan, seperti Sungai Tabukan, Jarang Kuantan, Hambuku Hulu, Kelua, Haruyan, Kandangan, Rantau dan Barabai.
Tujuan terpenting dari Muhammadiyah ialah memurnikan faham-faham agama Islam yang dianggapnya telah banyak menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad SAW dengan semboyan yang tekenal “kembali kepada Quran dan Hadits”. Karena tujuan memurnikan itulah yang menyebabkan Muhammadiyah pada mulanya mendapat tantangan hebat di kalangan penduduk, meski kemudian akhirnya mendapatkan posisi penting di daerah ini karena kesungguhan para penganjurnya terutama berkat peranan eksponen intelektual muda Muhammadiyah yang dengan metode-metode dakwah tertentu telah berhasil menarik masyarakat Islam di kampung-kampung untuk menjadi pengikutnya.
Berkat prestasi yang dicapai Muhammadiyah di daerah ini, maka dilaksanakanlah Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin yang berlangsung dari tanggal 15 s.d. 22 Juli 1935 dihadiri oleh sekitar 400 orang peserta, dari seluruh perwakilan Muhammadiyah dan Aisyiyyah di Hindia Belanda.
Read more

0 BENTUK KERATON DAN LOKASI PERPINDAHAN PUSAT KESULTANAN BANJAR

ABSTRACT
Sultanate of Banjar is the largest kingdom in the southern part of Borneo that did not have the legacy of palaces, which have never known how the shape and location of the palace where the Banjar it. Even so, a description of court forms and the locations of the imperial center Banjar displacement can be traced from several sources including the palace of paintings and books written by Dutch people who witnessed the immediate circumstances of Banjar palace.
Keywords: palace form, palace location Banjar.

I. PENDAHULUAN
Keraton yang dimaksud di sini menunjuk pada kekuasaan raja-raja, khususnya di tanah Jawa. Istilah lain dari keraton adalah istana sebagai tempat kediaman raja beserta keluarga, pembantu dekat, dan para pengawalnya. Berdasarkan pemahaman kebahasaan, kata keraton/karaton (ke-ra-tu-an) diartikan untuk menunjukkan tempat kediaman ratu atau raja, atau kedaton (ke-datu-an) yaitu berarti istana/kerajaan. Makna ini serupa dengan definisi keraton menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), yaitu berarti tempat kediaman ratu atau raja; istana raja; kerajaan.

Gambar 1. Keraton (Dalem) Martapura menurut Schwaner
yang melakukan perjalanan antara tahun 1843-1847. Lukisan itu juga terdapat dalam C.W. Mieling yang disebutnya sebagai Istana Sultan Banjarmasin atau yang disebut J.J. Ras sebagai The last kraton the Bandjarese kings.

Kesultanan atau Kerajaan Banjar sebagai kerajaan terbesar yang pernah ada di bagian selatan Borneo memang pernah memiliki keraton sebagai tempat raja atau sultan menjalankan pemerintahan. Pada awalnya lokasi keratonnya berada di Banjarmasin. Atau yang dahulunya dikenal dengan nama Banjar Masih dengan pelabuhan perdagangannya yang disebut orang Ngaju sebagai Bandar Masih (bandarnya orang Melayu) sebagai ibukota Kerajaan Banjar yang kemudian menjadi kota Banjarmasin.
Keberadaan Keraton Banjar sesungguhnya dapat ditelusuri dari keberadaan Kerajaan Tanjung Pura sebagai kerajaan pertama di Kalimantan Selatan pada abad ke-4 Masehi. J.J. Rass dalam Hikajat Bandjar: A Study In Malay Historiography memperkirakan bahwa Tanjung Pura yang berada di sekitar Tanjung adalah koloni orang Melayu dari zaman awal Sriwijaya. Ketika kerajaan Tanjung Pura diserang oleh imigran-imigran pelarian dari Jawa, maka pusat perdagangan beralih ke Amuntai (Negara Dipa).
Dalam Hikayat Banjar (Museum Negeri Lambung Mangkurat, 1999/2000) disebutkan bahwa proses pembentukan Kerajaan Banjar itu bermula dari datangnya saudagar Ampu Jatmika di pulau Hujung Tanah, mereka kemudian mendirikan kerajaan Negara Dipa yang juga menurunkan raja-raja Negara Daha dan Kesultanan Banjarmasin yang terbentuk di kemudian hari.
Karena adanya konflik dengan Belanda, maka pusat pemerintahan Kesultanan Banjar juga beberapa kali mengalami perpindahan. Menurut Ramli Nawawi, dkk (1985) setelah keraton Banjar yang pertama di Banjarmasin dibakar VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1612, maka selanjutnya pusat pemerintahan berpindah-pindah dari Kuin di Banjarmasin (Abad XV-XVI), ke Muara Tambangan, seterusnya Batangbanyu, Karang Intan, Martapura, dan kembali ke Banjarmasin.
Adanya Keraton Banjar sudah barang tentu berkaitan dengan Kerajaan Banjar dan etnis pendukungnya yakni etnis Banjar. Akan tetapi, seperti halnya rekonstruksi kesejarahan masa awal berdirinya Kerajaan Banjar dan asal-usul etnis Banjar yang lebih banyak berupa asumsi-asumsi yang didasarkan kepada data-data yang masih terbatas, maka pelacakan bentuk dan lokasi-lokasi perpindahan keraton Banjar yang dilakukan sejauh ini juga lebih didasarkan kepada data yang terbatas pula. Hal itu disebabkan, karea sejak berdirinya Kesultanan Banjar tahun 1526 sampai dihapuskannya kesultanan ini oleh Belanda tahun 1860, kerajaan ini hanya sedikit memiliki peninggalan fisik. Bahkan keraton Banjar juga sudah punah sehingga tidak pernah diketahui bagaimana bentuk dan lokasi-lokasi perpindahan keraton Banjar itu. Meski demikian, gambaran tentang bentuk keraton dan lokasi-lokasi perpindahan pusat kesultanan Banjar sesungguhnya dapat ditelusuri dari lukisan keraton dan catatan orang-orang Belanda yang melihat langsung kondisi keraton Banjar pada saat itu.

II. LOKASI DAN KERATON BANJAR
A. Berdirinya Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar adalah nama lain dari sebutan Kerajaan Banjarmasin atau Kesultanan Banjar.
Kerajaan Banjar menurut M. Idwar Saleh (1981/1982) berdiri pada tanggal 24 September 1526 sebagai sebuah kerajaan Islam. Pengaruh kerajaan ini meliputi gabungan seluruh wilayah yang saat ini dikenal sebagai Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan sebagian Kalimantan Timur bahkan ada beberapa daerah yang pada saat ini masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Ideham, dkk. editor, 2003).
Menurut M. Idwar Saleh (1981/1982) keraton Kesultanan Banjar yang pertama dibangun di Kuin Banjarmasin. Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuwin sebagai induk daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, kemudian berubah menjadi sebuah bandar perdagangan. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih yang dijadikan keraton itu diperluas dengan dibuat Pagungan (gedung gamelan/senjata), Sitiluhur (Siti Hinggil) dan Paseban.
Pada tahun 1612 dalam masa pemerintahan Panembahan Marhum (Sultan Mustain Billah) terjadi pertikaian dengan Belanda yang mengakibatkan hancurnya keraton Banjar di Kuin oleh serangan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selanjutnya ibukota kerajaan dipindah ke daerah Kayutangi, Martapura. Menurut H. Gusti Mayur (1979) pemindahan ibukota Kerajaan Banjar ke Kayutangi atau Bumi Selamat, daerah Martapura kira-kira tahun 1623. Majunya perdagangan Banjar setelah masa Sultan Mustain Billah membawa kemakmuran dengan kemegahan istana serta perangkat-perangkatnya.
Dan pada pertengahan abad ke-17 akibat perebutan kekuasaan, ibukota kerajaan terbagi dua, di Banjarmasin di bawah Sultan Agung (Amirullah Bagus Kesuma) dan di Martapura di bawah Panembahan Ratu. Di daerah Martapura ini, keraton Banjar beberapa kali berpindah tempat, salah satunya Keraton Bumi Kencana (Boemikintjano) yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Bumi Selamat pada tahun 1801. Bumi Selamat adalah untuk keraton Sultan Banjar di Martapura. Nama Keraton Bumi Selamat baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya disebut Keraton Bumi Kencana. Tentang nama Keraton Bumi Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda, 11 Agustus 1806 (lihat ANRI, 1965).

B. Bentuk Keraton dan Perpindahan Pusat Kesultanan Banjar
Bagaimana wujud arsitektural Keraton Banjar saat berdiri di Kuin? Jika menilik bahwa tata pemerintahan Kerajaan Banjar sangat dipengaruhi oleh tata pemerintahan kerajaan sebelumnya (Negara Daha dan Negara Dipa) yang juga dipengaruhi tata pemerintahan di Kerajaan Majapahit, maka dengan melihat tata pemerintahan Kerajaan Negara Daha, dapat diperkirakan bentuk tata Keraton Banjar di Kuin berdasar struktur pemerintahan.
Ketika Kerajaan Banjar sebagai kerajaan Islam berdiri tahun 1526, maka sistem pemerintahannya secara ideologis berubah, dan secara struktural juga mengalami penambahan. Misalnya sebutan raja pada Negara Dipa dan Negara Daha adalah maharaja, maka pada masa Kerajaan Banjar adalah sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah, jabatan tertinggi adalah Mangkubumi yang dijabat oleh Patih Masih, Panganan dijabat oleh Patih Balitung, Pangiwa dijabat oleh Patih Balit, Gumpiran atau Gampiran oleh Patih Kuin, dan Panumping dijabat oleh Patih Muhur.
Keberadaan Kerajaan Banjar pada saat berada di Kuin digambarkan berada di sekitar 5 sungai, yaitu; sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan Pandai. Kelima sungai ini bertemu dan membuat danau kecil bersimpang lima, dan daerah inilah yang nanti menjadi ibu kota Kerajaan Banjar (Saleh, 1981/1982).
Sebagai tempat pemerintahan yang pertama ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk Daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526 ke Kuin. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton. Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan, Sitiluhur dan Paseban (Saleh, 1981/1982).
Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton. Istana Sultan Suriansyah berupa rumah bubungan tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk betang dengan bahan utama dari pohon ilayung. Antara istana dengan sungai terletak jalan, dan di pinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban. Di sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur. Mendekati sungai Barito dengan Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja. Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah. Dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas air tebing, di samping pasar yang umum saat itu di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air. Menyeberang sungai Sigaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan tiap hari Senin atau Senenan. Di Sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap. Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di lanting-lanting, dan sebagian lagi tinggal di betang di darat. Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah. (Saleh, 1981/1982).
Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah lanting atau rumah rakit hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu atau pelupuh dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi (Saleh, 1981/1982)..
Jabatan pemerintahan Kerajaan Banjar terus mengalami perkembangan. Pada masa pemerintahan Marhum Panambahan Kacil (1595-1620) jabatan-jabatan yang dalam negara adalah: Mangkubumi, Mantri Pangiwa-Panganan, Mantri Jaksa, Tuan Panghulu, Tuan Khalifah, Khatib, Para Dipati, Para Pryai. Masalah-masalah yang menyangkut bidang agama Islam dibicarakan dalam suatu rapat/musyawarah yang terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu yang memimpin pembicaraan adalah Penghulu. Masalah-masalah yang menyangkut hukum sekuler yang disebut hukum dirgama, dibicarakan oleh rapat yang terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa. Yang memimpin adalah Jaksa. Masalah yang menyangkut tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan raja, Mangkubumi dan Dipati.
Jabatan Panghulu mempunyai status yang tinggi dalam negara. Dalam hierarki struktur negara, kedudukan Panghulu adalah dibawah Mangkubumi, dan jabatan Jaksa adalah di bawah Panghulu. Hal ini berlaku pula dalam tata aturan negara dalam suatu sidang negara. Urutannya adalah Raja, Mangkubumi, kemudian Panghulu dan setelah Panghulu adalah Jaksa. Hal ini berlaku pula kalau Raja berjalan. Dalam suatu urutan kalau Raja berjalan, setelah raja adalah Mangkubumi, dibelakang Mangkubumi adalah Panghulu dan kemudian Jaksa.
Kewenangan Panghulu adalah lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah yang menyangkut agama, sedangkan Jaksa mengurusi masalah yang menyangkut dunia. Para Dipati, yang biasanya terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi. Sistem politik dan pemerintahan seperti ini berlangsung sejak pemerintahan pertama dari kerajaan Banjar sampai masa Sultan Musta’in Billah pada permulaan abad ke- 17.
Selain melihat kepada tata pemerintahan Kerajaan Banjar, tata keraton Banjar juga dapat dianalogikan dengan Keraton Kotawaringin. Menurut catatan sejarah, Kerajaan Kotawaringin dibangun oleh keturunan raja-raja Banjar, maka dapat diasumsikan bahwa gambaran Keraton Banjar lebih jelas, sebab peninggalan Istana Raja Kotawaringin masih terpelihara hingga kini—meski sebelumnya pernah terbakar dan kemudian dibangun kembali. Dilihat dari masanya, pembangunan Istana Kotawaringin nampaknya pada periode dimana Kerajaan Banjar telah berpindah dari Kuin. Sebagaimana bangunan Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan, maka bangunan istana raja/keraton ini dibangun pada kondisi politik kolonialis Belanda. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa kediaman sultan yang dibangun di lokasi baru mungkin berbeda bentuknya dengan keraton sebelumnya atau bahkan hanya menempati bangunan yang sudah ada. Ada kemungkinan bangunan Istana di Kuin sangat berbeda jika dibandingkan dengan wujud keraton yang dibangun pada lokasi-lokasi perpindahan.
Dipicu oleh pertikaian dengan VOC Belanda, maka pada tahun 1612 pasukan VOC menyerang dan menghancurkan istana Kerajaan Banjar di Kuin. Dan sejak peristiwa tersebut, keberadaan istana Kerajaan Banjar selalu berpindah. Beberapa lokasi yang diperkirakan menurut catatan sejarah sebagai lokasi Kerajaan Banjar adalah daerah Kuin, Kayutangi, Martapura, Cempaka, Karang Intan, dan Sei Mesa.
Selanjutnya, akibat penyerangan pasukan VOC ke istana Kerajaan Banjar di Kuin, menyebabkan Sultan Mustainbillah memindahkan ibukota kerajaan dan istana kerajaan ke daerah Batang Banyu/Kayu Tangi/Teluk Selong. Tidak banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai istana Kerajaan Banjar selama di daerah Batang Banyu ini.
Sedikit gambaran tentang keraton Kayu Tangi terdapat dalam M. Idwar Saleh (1958) yang menyebutkan bahwa Andreas Paravicini, seorang utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan Banjarmasin menulis laporannya tentang keraton Sultan di Kayu Tangi :
“…..mula-mula barisan tombak berlapis perak, dibelakangnya barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba dibahagian pertama keraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal mereah bersenjatakan perisai dan pedang. Setelah tiba dibahagian kedua keraton, disambut musik yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan diantarkan oleh pasukan pengawal biru kebahagian keraton yang merupakan ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi denga rumbai-rumbai hingga membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia….”.

Selain itu, W.A. Van Rees dalam bukunya De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863 (Arnhem D.A. Thieme 1865) juga menggambarkan kondisi keraton Banjar:
De kraton bestond uit een, zestal zeer vervallen woningen, gedeeltelijk door een hoogen aarden wal, gedeeltelijk door een halfvergane ijzerhouten pagger omgeven. Op het plein, tusschen het weelderig opgeschoten gras, lag een dertigtal onbruikbare kanonnen. Het voornaamste gebouw was de troonzaal, in 1786 door Panembahan Ratoe gebouwd, 120 voet lang, 50 breed en 25 hoog, met kunstig snijwerk versierd, doch zoodanig in verval, dat men er niet zonder gevaar kon binnentreden. Daar vond men een ouden gammelang en eenige geheel onbruikbare wagens. Ook de woning des sulthans droeg de sporen van verregaande verwaarloozing en diep verval. Met uitzondering van de ontvangstzaal, was het huis opgepropt met kisten, kasten en manden; het geleek een waar rooversmagazijn, was slecht verlicht en armzaliger ingerigt dan de woning van menig welgesteld inlander. De huizen der pangerangs Praboe Anom en Mohamed Amin Oellah waren niet beter. En toch waren in die schamele woningen groote rijkdommen opgestapeld; toch lag onder al dat vuil een schat van diamanten en stofgoud verborgen. Ratoe Kamala alleen bezat een diamant van 103, een ander van 83, en een menigte anderen van 30 a 240 karaat. Slechts bij plegtige gelegenheden, op groote feestdagen wanneer er optogten werden gehouden, werd die rijkdom ten toon gespreid.

(Keraton (Kayutangi?) terdiri dari enam buah bangunan yang sangat reot, sebagian dikelilingi oleh tembok dari tanah, sebagian dengan pagar ulin yang telah lepas. Di halaman, di antara semak dan rumput yang subur, tersembunyi tigapuluhan buah meriam yang tidak dapat dipergunakan lagi. Bangunan yang paling utama ialah ruang singgasana yang dibangun oleh Panembahan Ratu di tahun 1786; dengan ukuran panjang 120 kaki, lebar 50 kaki, dan tinggi 25 kaki, dihias dengan ukiran-ukiran yang penuh seni, namun untuk melangkah masuk ke ruang ini harus sangat berhati-hati karena telah lapuk. Di ruang singgasana ini terdapat seperangkat gamelan yang tua, dan beberapa buah kereta yang sama sekali tidak dapat dipergunakan lagi.
Rumah-rumah para sultan memperlihatkan tanda-tanda pembengkalaian dan sangat lapuk. Terkecuali ruang untuk menerima tamu, kediaman (sultan) ini jejal dengan tumpukan lemari-lemari, peti-peti, dan keranjang-keranjang, terkesan seperti gudang penyamun, sangat gelap, dan tertata lebih buruk dari rumah milik orang-orang bumiputera yang berduit. Rumah-rumah kediaman pangeran-pangeran Prabu Anom dan Muhammad Aminullah tidak pula lebih baik. Namun, di dalam rumah-rumah yang keadaannya parah ini tertumpuk harta kekayaan besar; di bawah lapisan kotoran dan debu tersembunyi intan berlian dan mas urai. Seorang Ratu Kumala saja memiliki intan/berlian sebesar 103 dan 83 karat, dan banyak lagi yang 30 a 40 karat. Hanya pada acara-acara resmi, pada hari-hari besar yang dirayakan oleh penduduk, dipamerkan harta kekayaan kerajaan itu)

Apa yang telah dipaparkan oleh W.A. Van Rees sepertinya adalah kondisi keraton terakhir di Martapura. Keraton Banjar di Martapura itu pernah dilukiskan oleh C.A.L.M. Schwaner yang melakukan perjalanan antara tahun 1843-1847 dan kemudian ia tuangkan dalam bukunya sebanyak 2 jilid berjudul : Borneo. Beschrijving van het stroomgebied van den Barito, PN van Kampen, Amsterdam, 1853-1854 (lihat Helius Sjamsuddin, 2001).
Lukisan keraton yang juga disebut “dalem” menurut gambaran Schawaner itu juga terdapat dalam buku Inventaris Arsip Borneo (ANRI, 1986) dengan keterangan “Istana Sultan Banjarmasin dari dari C.W. Meiling (Amsterdam, 1853-1854)”. Hal itu maksudnya adalah bahwa C.W. Meiling mereproduksi lukisan itu dari buku Schwaner terbitan Amsterdam 1853-1854. Lukisan keraton dari buku Schawaner atau dari C.W. Meiling itulah J.J. Ras mereproduksinya ke dalam disertasinya yang ia terbitkan tahun 1968 berjudul Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. Di bawah lukisan keraton itu, J.J. Ras menulis keterangan: The last kraton the Bandjarese kings.
Menurut catatan sejarah, Kerajaan Banjar juga pernah dibangun di Karang Intan. Istana Kerajaan Banjar di Karang Intan dibangun oleh Sultan Sulaeman dan makam Sultan Sulaeman juga terletak di Karang Intan.
Adapun mengenai informasi tentang Kerajaan Banjar di Cahaya Bumi Selamat/Martapura dibangun oleh Sultan Tahmidullah. Sultan Tahmidullah atau Panembahan Adam menjadikan Martapura sebagai ibu kota kerajaan dengan keratonnya yang diberi nama Bumi Kencana. Bumi Selamat adalah untuk keraton Sultan di Martapura. Nama Keraton Bumi Selamat baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya disebut Keraton Bumi Kencana. Tentang nama Keraton Bumi Selamat dapat dibaca pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda, 11 Agustus 1806 (lihat ANRI, 1965).
Jika mengacu pada lukisan keraton sebagaimana digambarkan C.A.L.M. Schwaner maupun C.W. Meiling bahwa atap bangunan berbentuk limas persegi empat panjang, maka gambaran itu berbeda dengan syair yang terdapat dalam buku Amir Hasan Bondan (1953) yang menyatakan bahwa pada tahun 1855 di lingkungan keraton di Martapura sedikitnya terdiri dari enam bangunan utama, di antaranya banguan (rumah) yang disebut ‘Bubungan Tinggi’, sebagai tempat kediaman raja (panembahan). Selebihnya, didasarkan pada tuturan adat Banjar, terdapat bangunan yang disebut Palimasan, Balai Laki, dan Gajah Manyusu.
Bunyi tuturan itu sebagaimana dikutip Bondan: “bubungan tinggi wadah raja / palimasan wadah amas perak / balai laki wadah punggawa mantri / gajah manyusu wadah warit raja (para gusti dan nanang)”. Kembali kita tidak bisa memastikan apakah untuk melengkapi enam bangunan sebagaimana yang disebutkan itu terdapat juga dua dari tiga jenis bangunan lain, yaitu: balai bini, gajah baliku, dan/atau palimbangan.
Rumah Bubungan Tinggi sebagai kediaman sultan menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953) terdiri dari:
-palatar adalah ruangan bagian muka
-panampik kacil merupakan ruangan bagian dalam
-panampik basar atau ambin sayup adalah ruangan di tengah rumah
-panampik panangah, ruangan rumah bagian dalam
-anjung adalah ruangan untuk peraduan sultan
-panampik bawah adalah ruangan yang berada di belakang
-padapuran merupakan bagian dapur
Bangsal untuk menerima tamu terletak di panampik basar. Seluruh bagian istana dibatasi oleh dinding-dinding yang kuat. Bangunan pokok dari istana adalah balairung, tempat duduk raja bila menerima pejabat istana. Bangunan istana terbuat dari kayu besi (ulin), papan dengan diberi hiasan. Panjang bangunan kira-kira 120 kaki, lebar 50 kaki dan tinggi 25 kaki. Bagian timur dari istana diberi batas dinding dari tanah setinggi 20 kaki, sedang sisi lainnya dibatasi oleh pagar kayu besi, tingginya kira-kira 20 kaki (Ideham, dkk. editor, 2003).
Bentuk dan pembagian dalam ruangan istana secara keseluruhan berkaitan dengan kepercayaan dan pandangan Orang Ngaju yang menganggap, Burung Enggang sebagai lambang alam atas. Bentuk istana (bubungan tinggi) dibangun mengikuti bentuk cacak burung (jejak tapak burung). Bentuk cacak burung ini dipandang sebagai perpaduan antara garis yang melambangkan keseimbangan kekuatan untuk mempertahankan diri dalam melestarikan kehidupannya. Di bagian puncak atap rumah, yang disebut bubungan, diukir bergambarkan burung enggang yang bersifat jantan sebagai bagian dari dwitunggal penguasa alam dari kosmologi Agama Helu. Orang Ngaju menyebutnya Agama Tempon Telon atau yang lebih dikenal dengan nama Kaharingan. Di sebelah luar ruang depan yang disebut panapih anjung dan panapih peluaran, ditopang oleh tiang-tiang yang diukir dengan gambar ular atau jata, sebagai sifat kewanitaan dari dwitunggal alam bawah. (Saleh, 1981/1982; Ideham, dkk. editor, 2003).
Selain itu, menurut Amir Hasan Kiai Bondan (1953) Istana (keraton) dan rumah-rumah orang terkemuka di wilayah Kalimantan (Selatan) senantiasa di bagian depannya dibangun gerbang (gapura). Tiap gerbang yang dibangun mempunyai bentuk dan corak tertentu disesuaikan dengan derajat atau kedudukan pemiliknya. Sedikitnya pada masa dahulu itu terdapat lima jenis gerbang, yaitu:
1. Gerbang Sungkul Awan Batulis (Raja)
2. Gerbang Ganjur (Menteri Besar, Mangkubumi)
3. Gerbang Pucuk Rabung (Kadang Aji, para bangsawan)
4. Gerbang Tameng (Pahlawan, para ksatria)
5. Gerbang Benji (Menteri, Lurah, dan Saudagar)
Sayangnya Bondan hanya menyebut pada “masa dahulu sekali” setelah terlebih dahulu sedikit mengemukakan mengenai masa sebelum Kerajaan Banjarmasin ketika mengemukakan mengenai jenis-jenis gerbang itu. Oleh karenanya, apakah jenis-jenis gerbang itu digunakan sejak dan sampai periode Kerajaan Banjarmasin, agak kabur.
Apa yang telah digambarkan John Andreas Paravicini, C.A.L.M. Schwaner C.W. Meiling, dan Amir Hasan Bondan yang kemudian juga dijadikan sumber informasi di Museum Negeri Lambung Mangkurat Banjarbaru, tampak terlihat adanya pagar tinggi yang terbuat dari batang pohon mengelilingi kompleks istana. Atap bangunan terlihat di balik pagar, dan memiliki bentuk limas persegi empat panjang.

Gambar 2. Lukisan Kraton Banjarmasin masa Sultan Tamjidillah (1856-1859) di Sungai Mesa Sumber: M. Idwar Saleh (1983/1984).

Selain di lokasi-lokasi yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, Istana Kerajaan Banjar juga pernah diberitakan berada di Sungai Mesa, Banjarmasin. Keraton Banjar di Sungai Mesa terjadi ketika Sultan Adam pindah ke Banjarmasin bersama isterinya Nyai Ratu Kamala Sari dan tinggal di daerah Sungai Mesa sekarang. Perpindahan yang terjadi tahun 1857 itu karena akibat anak sultan yang terakhir, Pangeran Prabu Anom diasingkan Belanda ke Banjarmasin dari Martapura. Sultan Adam ikut pindah ke Banjarmasin untuk kepentingan dan keselamatan puteranya.
Setelah Sultan Adam wafat pada 1 November 1857, sampai tahun 1860 kampung Keraton Sungai Mesa, menjadi pusat kegiatan pemerintahan kerajaan yang terakhir, dibawah Sultan Tamjidillah, sedang mangkubumi tetap tinggal di Martapura (Saleh, 1981/1982).

III. PENUTUP
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa: (1) Wujud arsitektural Keraton Banjar seperti tata letak dan jumlah bangunan yang terdapat dalam komplek keraton dapat dikaitkan atau mencerminkan struktur pemerintahan yang berlaku pada saat itu; (2) Bentuk keraton atau kediaman sultan yang dibangun di lokasi perpindahan keraton (Kuin ke Muara Tambangan, seterusnya Batangbanyu/Kayu Tangi/Teluk Selong, Karang Intan, Martapura dan kembali ke Banjarmasin) mungkin berbeda bentuknya dengan keraton sebelumnya atau bahkan hanya menempati bangunan yang sudah ada; (3) Bangunan utama pada kompleks keraton Banjar adalah rumah Bubungan Tinggi sebagai tempat raja bertahta; (4) Meski sangat terbatas, data berupa lukisan dan tulisan tentang keraton Banjar kiranya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bahan untuk merekonstruksi model arsitektur keraton Banjar jika keraton Banjar kelak dibangun kembali di suatu tempat di Kalimantan Selatan.

Read more

0 Wayang Kulit Banjar

Kesenian wayang kulit di Indonesia antara lain dapat ditemui di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, dan Kalimantan Selatan. Wayang kulit di Kalimantan Selatan dinamakan Wayang Kulit Banjar, karena pendukung kesenian ini adalah etnis Banjar. Secara fisik ukuran wayang kulit Banjar lebih kecil dibanding wayang kulit Jawa. Atau lebih mendekati ukuran wayang kulit Bali.
Ritme gamelan yang mengiringi wayang kulit Banjar cenderung cepat dan keras, sehingga berbeda jika dibanding dengan musik gamelan Jawa. Wayang kulit Banjar juga tidak mengenal waranggana (para wanita yang membantu menyanyikan lagu atau gending) yang ada dalam pementasan wayang kulit di Jawa.
Gamelan wayang kulit Banjar umumnya terbuat dari besi, berbeda dengan gamelan wayang kulit Jawa yang rata-rata terbuat dari logam perunggu. Di tahun 1900 musik gamelan Selendro lengkap seperti gamelan Jawa masih berkembang, terutama pewaris keluarga istana yaitu keluarga gusti-gusti. Menurut Sarbaini (seniman/budayawan), di tahun 1990 di Barikin adalah tempat peleburan besi gangsa membuat gamelan Selendro, tapi tidak diberi kuningan. Ketika itu sudah berkembang gamelan Banjar mini yakni yang dibuat dari baja dan besi yang terdiri dari sarun satu, sarun dua (sarantam), kanung, dan dawu serta agung kecil dan agung besar, ditambah dengan kangsi, gendang atau babun terdiri dari babun besar dan babun kecil. Babun besar untuk iringan wayang kulit dan wayang gung, sedangkan babun kecil untuk selingan iringan tembang dan tarian baksa atau topeng.Di Kalimantan Selatan, penonton wayan kulit masih dominan berada di belakang kelir (tenda) sehingga yang mereka tonton adalah bayang-bayang dari wayang tersebut. Hal ini agak berbeda dengan wayang kulit Jawa yang mana kebanyakan penontonnya menonton langsng dari atas panggung.
Dalam buku Urang Banjar dan Kebudayaannya (2005) disebutkan bahwa bentuk kesenian wayang di Indonesia berinduk pada kebudayaan asli Jawa, meskipun cerita yang ditampilkan disadur dari pengaruh kebudayaan Hindu. Bentuk kesenian wayang tertua adalah wayang Purwa. Dari wayang purwa ini berkembang menjadi jenis-jenis wayang di Kalimantan Selatan.
Dalam Hikayat Banjar tertulis bahwa seni wayang sudah mulai tumbuh di kerajaan Negara Dipa seperti; bawayang gung, manopeng, bawayang gadongan, bawayang purwa, babaksan dan sebagainya. Merupakan kesenian yang biasa dipertunjukan di kerajaan Negara Dipa.
Mengenai asal usul wayang telah banyak dibicarakan di kalangan ilmuwan. Dr. J.L.A. Brandes berpendapat bahwa wayang termasuk dalam 10 unsur kebudayaan yang telah ada di Nusantara sebelum masuknya kebudayaan Hindu. Saking tuanya usia pertumbuhan seni pertunjukan wayang tak heran bila wayang telah mendarah daging di kalangan masyarakat dan begitu kuat pengaruh wayang melekat dalam alam pikiran masyarakat.
Berhubungan dengan seni pertunjukan wayang, ada yang beranggapan bahwa pada mulanya pertunjukan wayang oleh sebagian masyarakat dijadikan semacam pertunjukan upacara yang lazim disebut Syamanisme. Namun di kemudian hari, wayang dipertunjukkan untuk mengisi upacara manjagai (menunggu pengantin) sesudah upacara perkawina. Maka pada malam harinya diadakanlah pertunjukan kesenian, seperti Mamanda, Wayang Gong, Rudat, Wayang Kulit dan acara Bakisah (kisah yang dibawakan penutur cerita). Biasanya acara bajagaan pengantin ini berlangsung selama tiga malam.
Dalam pewayangan, peran dalang sangat penting sebagai penghubungan dengan arwah nenek moyang. Berdasarkan penelitian, kebanyakan suku-suku di kepulauan nusantara memang memiliki kebiasaaan melakukan upacara Syaman.
Tidak heran apabila suku Banjar dengan teater wayang pun merupakan kegiatan upacara, dimana penyajian wayang Banjar diadakan pada malam hari dianggap roh-roh nenek moyang berkelana, disamping wayang Banjar lebih menekankan penyajiannya pada penonton melalui bayang-bayang.
Menurut Gunadi (2006) pada masyarakat Banjar dikenal beberapa jenis wayang berdasarkan niat dari pementasannya, seperti Wayang Karasmin yakni untuk hiburan atau keramaian, Wayang Tahun yang dipentaskan setelah selesai panen padi sebagai tanda syukur, dan Wayang Tatamba yang diselenggarakan karena sang dalang telah berhasil menyembuhkan sakit seseorang.
Selain itu adapula pertunjukkan wayang Banjar yang berkaitan dengan spiritual yakni Wayang Sampir. Pementasan Wayang Sampir terkait dengan hajatan/nazar. Dalam penyajian wayang upacara ini, dalang bertindak sebagai pemimpin upacara yang memiliki kemampuan dalam mengusir roh-roh jahat yang sering mengganggu ketenteraman manusia.
Untuk mengusir roh-roh jahat tersebut yang punya hajatan harus menyiapkan sajian 41 macam kue tradisional Banjar, juga menyajikan piduduk terdiri dari; beras ketan, gula habang, nyiur (kelapa), benang-jarum dan duit recehan yang dimasukkan dalam ancak dan digantungkan dipanggung pegelaran wayang.
Upacara wayang sampir dilakukan malam pada malam hari setelah diadakan upacara mengantar sesajen. Pimpinan upacara wayang sampir ini adalah seorang dalang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Semar dan selanjutnya menyebut dirinya Bapakku Dalang. Dalang inilah dalam upacara tersebut memainkan wayang kulit sambil diiringi bunyi gamelan yang dimainkan oleh sekelompok penabuh. Dalam acara ini Bapakku Dalang memanggil (mengundang) Batara Kala beserta penghuni alam gaib lainnya.
Upacara wayang sampir ini ditekankan kepada penghormatan dan pemberian sesajen kepada para makhluk gaib. Pada acara ini disampaikan juga penghormatan kepada Sang Pencipta Akhirat, para Malaikat, para Nabi-nabi, para Wali, dan para keramat.
Selain itu diundang untuk hadir dalam upacara itu para Datu, para pahlawan, para dewa, para Batara, Jin-jin, Hantu-hantu, Kuyang-kuyang, para Bidadari, para penghuni candi, penghuni gunung, penunggu pulau, penunggu danau dan tidak ketinggalan pula seluruh punduduk desa sekitarnya.
Dalam dialog antara Bapakku Dalang dengan Batara Kala (Sangkala), bahwa mereka itu semua dipanggil dan diundang untuk menyaksikan hiburan dan menyantap sesajen yang telah disediakan, dengan satu permintaan agar keluarga Datu Taruna dan penduduk desa mereka jangan lagi diganggu. Setelah itu menurut penuturan Bapakku Dalang, Sang Batara Kala didudukkan di punggung nyiur gading (punggung Bapakku Dalang) untuk menonton pertunjukan Wayang semalam suntuk.
Wayang sampir ini masih tetap eksis pada daerah-daerah tertentu seperti di Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah. Jelaslah di sini teater wayang Banjar (sampir) adalah warisan kesenian zaman para Hindu. Artinya kehadiran wayang Banjar di daerah Kalimantan Selatan jauh sebelum zaman kerajaan Islam di Banjarmasin. Mengingat wayang Banjar datangnya dari Jawa, dalam hal ini kerajaan Negara Dipa Amuntai mengikuti tradisi Jawa (Majapahit), dimana sekitar tahun 1300 sampai dengan tahun 1400 masehi Majapahit yang Hindu telah melebarkan kekuasaannya termasuk Borneo (Kalimantan) dan tidak ketinggalan dalam menjalankan misi keagamaan melalui media pertunjukan wayang. Jadi dapat diperkirakan awal masuknya wayang kulit ke kerajaan Negara Dipa sekitar abad ke-14.
Mengenai tokoh awal yang mengembangkan wayang Banjar belum diperoleh data dan informasi yang akurat. Teater wayang kulit Banjar terus berproses dari zaman kerajaan Negara Dipa ke kerajaan di Negara Daha, hingga terbentuknya kerajaan Islam Banjarmasin.
Baru dalam masa kerajaan Islam Banjarmasin, kesenian teater wayang kulit Banjar dengan warna lokal, mendapat minat yang bagus dari masyarakat Banjar. Karena sebelum Islam, penyajiannya meniru pada apa yang disajikan oleh dalang Jawa. Datu Taya yang melakukan adaptasi cerita wayang kulit dan menjadikan seni pertunjukan khas teater wayang kulit Banjar dan punya kelainan dengan wayang kulit Jawa baik bentuk wayangnya, lagu gemelan penggiring maupun cara memainkannya benar-benar mempunyai nilai-nilai krusial dan esensial.
Kalau menurut alur perkembangan dalang yang dimulai dari dalang Datu Taya, menelurkan dua dalang yakni Dalang Salak (Martapura awal abad ke-17) dan Dalang Mita (akhir abad ke-17). Dalang Salak berlanjut pada Dalang Rening (Amuntai awal abad ke-18) yang menelurkan Dalang Utuh Kacil (Ilung Barabai abad ke-19) dan Dalang Ketut (Barikin akhir abad ke-19) hingga Dalang Tulur (Barikin awal abad ke-20). Generasi penerus Dalang Tulur adalah Dalang Utuh Aini (alm) asal Barikin namun menetap di Banjarmasin, Dalang Kardi (Hulu Sungai Selatan), Dalang Masri dari Jambu Hilir (Hulu Sungai Selatan), Dalang Rundi dari Tapin, Dalang Dimansyah di Barikin (Hulu Sungai Tengah), Dalang Idrus dari Binuang (Tapin), Dalang Buserazudin (Hulu Sungai Selatan), Dalang Sastrawijaya (Hulu Sungai Selatan), dan dalang muda lainnya seperti Dalang Darlansyah, Dalang Kusran, Dalang Maspuri, dan Dalang Saidi.
Wayang kulit Banjar terbuat dari bahan baku kulit binatang yang dibikin oleh ahli tatah sungging wayang, diantaranya Tarmidzi (Hulu Sungai Tengah) yang berguru dari Dalang Tulur. Selain membuat wayang kulit, Tarmidzi juga membuat tatahan/ukirtan wayang pada Tutujah yakni alat untuk membuat lubang dalam menanam padi atau biji-bijian.
Cerita atau lakon dalam pertunjukan seni teater wayang kulit Banjar dikenal dengan lakon “carang” atau bukan cerita pakam (pakem) tapi sumber cerita dari Mahabharata, dalam perlakonan selalu membawa misi perilaku karakter yang baik dan yang jahat dalam aksi laku simbolik. Teknis penyajian dengan lakon carangan adalah penyajian wayang kulit Banjar yang berfungsi sebagai tontonan.
Dalam pertunjukan wayang kulit Banjar, bahasa yang digunakan adalah bahasa Banjar. Ada kecenderungan jika dalam pergelaran wayang kulit menggunakan bahasa Indonesia maka terasa seperti ada aspek seni yang hilang. Hal ini menyiratkan betapa erat hubungan bahasa Banjar dengan kesenian tradsionalnya.
Menurut Dalang Dimansyah sebagaimana dikutip dari Gunadi (2006), kejayaan pementasan wayang kulit Banjar di Kalimantan Selatan terjadi pada tahun 1970-1990-an. Dan juga pada masa itulah masa kejayaan bagi ahli tatah sungging, Tarmidzi, karena banyak pesanan pembuatan wayang dari para dalang atau dari daerah lain di luar Kalimantan Selatan. Setelah tahun 1990-an permintaan pementasan wayang mulai turun secara drastis, dan pembuatan wayang juga terhenti. Sepinya permintaan pementasan wayang mengakibatkan para dalang harus mencari usaha alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Entah sampai kapan mereka bertahan?
Read more

0 Raja Raja Banjar

Kerajaan Banjar adalah nama lain dari sebutan Kerajaan Banjarmasin atau Kesultanan Banjar. Kerajaan Banjar menurut M. Idwar Saleh (1981/1982) berdiri pada tanggal 24 September 1526 sebagai sebuah kerajaan Islam. Sebelum kerajaan ini berdiri, di Kalimantan Selatan sudah ada kerajaan lainnya yang bercorak sebagai negara suku yakni Nan Sarunai dan Tanjung Pura dan negara awal yakni Negara Dipa dan Negara Daha.
Kerajaan Tanjung Pura dan Nan Sarunai dapat dijelaskan sebagai negara yang rakyatnya melulu dari satu etnik (terutama etnik Maanyan) dan tatanannya diatur oleh tradisi yang ditransformasikan dari nenek moyang ke generasi berikutnya. Sedangkan negara awal merupakan suatu bentuk kerajaan transisi dari negara negara suku ke negara yang tatanan pemerintahannya yang lebih fomal atau teratur.
Kerajaan Negara Dipa dan Negara Daha berperan dalam sejarah pembentukan Kerajaan Banjar di kemudian hari, karena silsilah raja-raja Banjar dapat ditelusuri atau berasal dari keturunan raja-raja Negara Dipa dan Negara Daha.
Pada masa puncak kejayaannya, Kesultanan Banjar memiliki kekuasaan teritorial yang sangat luas, yakni meliputi wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah dan bahkan pengaruhnya sampai ke sebagian wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat saat sekarang.
Dalam buku Sejarah Banjar (Ideham, dkk. editor, 2003) disebutkan bahwa sejak berdirinya kerajaan Banjar pada 24 September 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang juga berakhirnya pemerintahan Pegustian sebagai penerus kerajaan Banjar tahun 1905, terdapat 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah (1526-1545), raja pertama yang memeluk agama Islam, dan raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman yang meninggal dalam pertempuran melawan Belanda di Menawing – Puruk Cahu dalam tahun 1905. Kerajaan Banjar runtuh sebagai akibat kalah perang dalam Perang Banjar (1859-1905), yang merupakan perang menghadapi kolonialisme Belanda. Sultan Suriansyah sebagai sebagai raja pertama berkeraton di Kuwin Utara sekarang yang dahulu sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, sedangkan raja terakhir Sultan Mohammad Seman berkeraton di Menawing-Puruk Cahu sebagai pusat pemerintahan pelarian dalam rangka menyusun kekuatan untuk melawan kolonialisme Belanda.
Raja-raja Banjar sejak berdirinya kerajaan Banjar sampai lenyapnya pemerintahan Pegustian di Menawing, adalah sebagai berikut :
1) Periode tahun 1526 – 1545: Pangeran Samudera, selanjutnya bergelar Sultan Suriansyah.
2) Periode tahun 1545 – 1570: Sultan Rahmatullah.
3) Periode tahun 1570 – 1595: Sultan Hidayatullah.
4) Periode tahun 1595 – 1620: Sultan Mustain Billah, Marhum Panembahan, yang dikenal sebagai Pangeran Kacil. Sultan inilah yang memindahkan keraton ke Kayutangi Martapura, karena keraton di Kuwin hancur di serang Belanda pada tahun 1612.
5) Periode tahun 1620 – 1637: Ratu Agung bin Marhum Panembahan yang bergelar Sultan Inayatullah.
6) Periode tahun 1637 – 1642: Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah.
7) Periode tahun 1642 – 1660: Adipati Halid (Pangeran Tapesana).
8) Periode tahun 1660 – 1663: Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan, 1663.
9) Periode tahun 1663 – 1679: Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan dari Amirullah Bagus Kesuma dan memindahkan keraton ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.
10) Periode tahun 1680 – 1700: Amirullah Bagus Kesuma.
11) Periode tahun 1700 – 1734: Sultan Hamidullah gelar Sultan Kuning.
12) Periode tahun 1734 – 1759: Pangeran Tamjid bin Sultan Amirullah Bagus Kesuma bergelar Sultan Tamjidillah.
13) Periode tahun 1759 – 1761: Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Kuning.
14) Periode tahun 1761 – 1801: Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah.
15) Periode tahun 1801 – 1825: Sultan Suleman Almutamidullah bin Sultan Tahmidullah.
16) Periode tahun 1825 – 1857: Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman.
17) Periode tahun 1857 – 1859: Pangeran Tamjidillah.
18) Periode tahun 1859 – 1862: Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu’mina.
19) Periode tahun 1862 – 1905: Sultan Muhammad Seman.
Read more

0 Kampung Kuin

Kampung Kuin adalah sebuah kawasan permukiman di pinggiran Kota Banjarmasin yang dilalui oleh sebuah sungai bernama sungai Kuin, yakni sungai yang menghubungkan sungai terbesar pertama; sungai Barito dengan sungai terbesar kedua; sungai Martapura.

Dulunya sepanjang sungai Kuin ini adalah kawasan Kuin. Dengan adanya sistem pemerintahan dari zaman Hindia Belanda, pendudukan Jepang dan Republik Indonesia, maka yang disebut kawasan Kuin adalah meliputi kampung-kampung, seperti Kampung Kuin Utara, Kampung Kuin Selatan, Kampung Kuin Cerucuk, Kampung Pangeran, Kampung Sungai Miai, Kampung Antasan Kecil Timur, dan Kampung Antasan Kecil Barat
Lokasi kawasan Kuin saat ini secara administrasi terletak di Kecamatan Banjarmasin Utara, membentang mulai ujung/pertemuan sungai Alalak hingga sungai Pangeran, sedang sungai Kuin dipandang sebagai alur utama lalu lintas kawasan Kuin yang menghubungkan beberapa sungai.
Di sepanjang sungai Kuin inilah muncul permukiman pertama di Banjarmasin sehingga menjadikan Kampung Kuin sebagai kampung tertua dari kampung-kampung yang ada di Banjarmasin dan sekitarnya. Di kampung inilah sebagai awal dari persinggahan dan menetapnya masyarakat untuk bertempat tinggal dalam bentuk suatu komunitas yakni komunitas etnis Banjar.

Kampung Kuin adalah kawasan kampung tua bersejarah karena dari kawasan Kampung Kuin inilah cikal bakal Kerajaan Banjar pertama menuju suatu pemerintahan Kerajaan Islam Banjar dengan nama Kesultanan Banjarmasin yang berpusat di Kuin.

Komplek Makam Sultan Suriansyah

Nama Kuin —dalam beberapa pustaka kadang ditulis Kuwin atau Kuyin— mengingatkan kita pada tradisi atau istilah Barat mengacu pada kata “Queen“ yang berarti ratu atau raja, yaitu penguasa tertinggi dalam sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Hal ini tidak dipungkiri sebagai kenyataan sejarah bahwa di sinilah pusat Kerajaan Banjar didirikan dan pernah eksis sebelum dibumihanguskan oleh Belanda pada tahun 1612 M. Dengan peristiwa tersebut kota Kuin dahulu untuk sementara ditinggalkan dan pusat pemerintahan berpindah di sekitar Martapura.
Pada saat pusat pemerintahan kesultanan di Kuin pengaruh kekuasaannya meliputi daerah yang sangat luas, Kalimantan bagian Selatan, Kalimantan bagian Tengah, antara lain: Kapuas, Kotawaringin, Lamandau, sebagian Kalimantan bagian Timur hingga Pasir, Berau dan sebagian Kalimantan bagian Barat.
Di Kuin ini pulalah dimulai penyebaran agama Islam yang ditandai dengan pemelukan agama Islam oleh raja Banjar pertama Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah yang diikuti yang dikuti oleh rakyatnya, yang mana proses pengislaman itu dipimpin oleh Khatib Dayyan dari Kesultanan Demak.
Keberadaan Kerajaan Banjar pada saat berada di Kuin digambarkan berada di sekitar lima sungai kecil, yaitu; sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan Pandai. Kelima sungai ini bertemu dan membuat danau kecil bersimpang lima, dan daerah inilah yang dahulunya menjadi ibu kota Kerajaan Banjar. Oleh karena itu, kampung ini disebut dengan Kampung Raja karena pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Banjar.
Keraton Banjar pertama dibangun di pinggiran sungai Kuin tepatnya antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton. Di tepi sungai Kuin di sisi sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.
Masjid Sultan Suriansyah

Kini kalau disebut Kuin, maka orang akan teringat akan Masjid dan Komplek Makam Sultan Suriansyah, yang mana di komplek itu terdapat pula makam Khatib Dayyan dan makam raja-raja Banjar lainnya.
Oleh Pemerintah Kota Banjarmasin, terbentuknya kerajaan Islam pertama yakni Kesultanan Banjarmasin pada tanggal 24 September 1526 telah ditetapkan dan diperingati sebagai awal terbentuknya Kota Banjarmasin dengan melakukan ziarah ke Komplek Makam Sultan Suriansyah di Kampung Kuin, tepatnya Kuin Utara.
Kampung Kuin adalah kampung yang masyarakatnya akrab dengan “budaya sungai”, karena sungai bagi masyarakat Kuin adalah urat nadi kehidupan. Dari sungai Kuin dan anak cabangnya itulah mereka mendapatkan air minum, mandi dan cuci. Bagi mereka Sungai Kuin juga berperan menjadi wahana lintas transportasi yang menghasilkan interaksi antar manusia yang aneka ragam suku, agama, budaya dan latar ekonomi. Interaksi antar manusia demikian, pada gilirannya membentuk hubungan-hubungan yang bersifat ekonomi, sosial-budaya, dan politik.
Dari sungailah interaksi manusia terbangun yang menghasilkan kebudayan masyarakat yang dipengaruhi oleh lingkungan sungai. Oleh karena itu, di Sungai Kuin inilah terdapat aktivitas budaya dan ekonomi yang terkenal ke mancanegara yakni Pasar Terapung (Floating Market) yakni sebuah pasar yang aktivitasnya jual beli berada di atas sungai dengan menggunakan alat transportasi sungai bernama jukung atau perahu.
Dalam hal permukiman, bentuk perkampungan di Kuin selalu berpola linear mengikuti alur sungai tersebut dan dahulunya rumah-rumah selalu menghadap ke sungai. Di antara rumah-rumah itu terdapat Rumah Tradisional Banjar berbagai tipe. Di sepanjang Sungai Kuin juga masih ditemui rumah-rumah penduduk yang dibangun di atas permukaan air yang dikenal dengan sebutan “lanting”.
Keberadaan peninggalan sejarah seperti Masjid dan Komplek Makam Sultan Suriansyah, Pasar Terapung, dan kondisi permukiman dan aktivitas masyarakat di tepi sungai Kuin merupakan sebuah daya tarik wisata yang sejak lama telah dijadikan objek wisata andalan berbasis budaya di Kota Banjarmasin.

Kecenderungan pariwisata dunia sekarang menganut pada slogan “back to nature” atau kembali ke alam (eco-tourism) yaitu suatu gerakan untuk kembali pada sesuatu yang alami. Sesuatu yang alami, baik kondisi alam, permukiman tradisional maupun adat istiadat yang masih dipertahankan oleh masyarakat Kampung Kuin seharusnya menjadi suatu hal yang menarik atau eksotis.

Pasar Terapung (Floating Market) Kuin

Namun seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan budaya masyarakat tradisional ke arah budaya urban yang mengedepankan ekonomi perdagangan maka kini kondisi alamiah kawasan Kampung Kuin mulai memudar. Misalnya aktivitas budaya sungai pasar terapung di muara sungai Kuin mulai meredup; tidak seramai dahulu lagi karena orientasi kegiatan ekonomi perdagangan berpindah dari sungai ke daerah daratan, seiring dengan semakin membaiknya lintas tranportasi jalan di sekitar pasar terapung tersebut.
Daya tarik wisata Kampung Kuin telah menurun, karena secara kasat mata kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kampung Kuin, khususnya ke Pasar Terapung, Komplek Makam dan Masjid Sultan Suriansyah tidak seramai kondisi sepuluh tahun yang lalu. Kondisi itu merupakan suatu kenyataan yang patut untuk dicermati dan dapat dijadikan sebagai suatu alasan bahwa kini merupakan saatnya untuk merevitalisasi kawasan Kampung Kuin sebagai kampung wisata andalan di kota Banjarmasin. Bagaimana menurut anda?

Read more
 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More